AWAN terlihat gelap seperti akan turun hujan. Aku duduk di kursi panjang di bawah pohon kapas yang rindang. Kunikmati angin yang berhembus pelan dan perlahan kubuka lembaran surat yang diberikan Satya padaku. Air mataku jatuh ketika membaca bait pertama yang ditulisnya.
‘’Aku merasa sangat beruntung mengenalmu, Gita.’’ Kalimat itu yang ditulisnya. Kulanjutkan lagi membaca surat itu dan kutemukan lagi bait yang indah, bait yang mengingatkanku tentang kejadian saat masih SMP dulu.
Pagi itu aku dan Rena pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku dan di saat itu pula Satya juga berada di sana. Satya adalah kapten tim basket di sekolahku, hanya itu yang ku ketahui tentangnya. Suasana perpustakaan menjadi sedikit tegang ketika terjadi pertengkaran kecil antara aku dan Satya. Pasalnya karena buku yang kami pinjam hanya tinggal satu. Aku sangat memerlukan buku itu, begitu juga Satya. Perang mulut yang terjadi hampir lima belas menit itu usai juga setelah Bu Ana mengambil keputusan bahwa buku tidak akan dipinjamkan kepada aku maupun Satya. Aku dan Rena keluar dari perpustakaan dengan hati yang kesal.
Setelah sepekan kejadian itu Satya datang ke rumahku dengan membawa buku yang ingin aku pinjam di perpustakaan kemarin. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya. Dari mana dia tahu rumahku, pikirku dalam hati. Seperti tahu apa yang kupikirkan, Satya langsung menyodorkan buku itu.
‘’Aku tahu rumah kamu dari Rena, nih bukunya,’’ ucap Satya. Aku hanya tersenyum sambil mencoba menutupi kebingunganku.
‘’Oh iya,hmm... Makasih ya...’’ balasku gugup. Tak lama kemudian Satya pun berpamitan pulang, sedangkan aku terus tenggelam dalam kebingungan. Entah apa yang membuat Satya bersikap seperti itu, apakah mungkin ia kasihan, atau apa? aku juga tidak tahu.
***
Di kantin aku duduk sendiri sambil melahap semangkok bakso. Satya datang dan mengambil posisi tempat di sampingku. Ia menyapa dan menngajakku ngobrol. Begitu akrab hingga tak sedekitpun kami biarkan lewat tampa berbicara. Ia bercerita tentang impian dan cita-citanya. Entah apa yang membuat aku dan dia bisa sedekat itu. Aku merasa dia bukanlah orang asing bagiku. Begitu bodohnya aku yang dulunya berpikir bahwa dia cowok angkuh yang sombong. Dia mengajakku masuk ke dunianya yang penuh perencanaan. Begitu banyak hal yang telah ia rencanakan untuk masa yang akan datang. Sialnya, bel begitu cepat berbunyi hingga obrolanku dengannya harus terhent dan aku tak tahu kapan itu akan berlanjut.
Kenangan itulah yang ditulisnya, dan sejak saat itu aku mulai mengenal Satya lebih jauh. Dulu di mataku Satya begitu angkuh dan sombong, tapi tidak untuk sekarang, di mataku sekarang Satya adalah seseorang yang berarti dan begitu penting dalam hidupku, entahlah, aku tidak tahu mengapa perasaan itu tiba-tiba hadir untuknya.
Bahkan setiap pertandingan basket di sekolah, aku selalu menyempatkan diri untuk melihatnya, walaupun sama sekali aku tak menyukai basket. Saat itu aku telah menyimpan perasaan padanya, walaupun dia tak pernah menyadarinya. Kuhabiskan waktu hanya untuk mengenal sosoknya lebih dalam lagi. Tak satu pertandinganpun aku lewati, dan hal itu sudah menjadi kebiasaan bagiku. Aku masih ingat ketika ia mengatakan bahwa aku adalah penyemangat baginya. Dan itu akan terus kuingat.
***
Ujian Akhir Sekolah sudah di depan mata, dan pekan depan adalah pekan terakhir pertandingan basket sekolahku. Aku bersikeras untuk melihatnya walaupun mama tidak mengizinkanku keluar rumah karena harus belajar untuk menghadapi ujian. tapi aku tak peduli dan terus pergi. Pertandinganpun hampir dimulai, mataku menerawang ke setiap tempat, tapi Satya tak juga kutemukan.Dia di mana ya, tanyaku dalam hati. Hatiku mulai tak karuan, dan akhirnya aku memutuskan untuk menemui Doni teman Satya.
‘’Satya mana Don, kok nggak kelihatan?’’ tanyaku.
‘’Satya sedang sakit jadi nggak bisa main,’’ jawab Doni ringkas.
Pikirku Satya hanya sakit biasa dan akan masuk sekolah beberapa hari kemudian. Namun dugaanku salah, hingga hari ujian akhirpun Satya tak juga muncul. Satya hilang tanpa suatu alasan yang jelas. Tak ada kabar darinya hingga hari kelulusan tiba.
Aku lulus dengan nilai memuaskan, tapi tak kulihat nama Satya di papan pengumuman itu. Apakah dia telah pindah sekolah atau apa, aku tak tahu. Harapanku untuk mendapatkan tanda tangannyapun musnah sudah. Dia meninggalkanku tanpa tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya.
Dua bulan berlalu kabarpun masih belum juga kudapatkan. Hingga suatu sore Doni datang ke rumahku dan mengajakku pergi. Dia tak memberitahukan tentang tujuan kepergian itu. Satu jam sudah kuhabiskan waktu di dalam mobil bersama Doni. Wajahnya terlihat tegang dan kusam ketika menyuruhku turun dari mobil. Tahu tidak sekarang aku berada di mana? Pemakaman. Ya sekarang aku berada di sebuah pemakaman.
Doni menuntunku berjalan dan aku mengikutinya. Kami pun berhenti di depan sebuah makam. Aku seakan tak percaya ketika melihat nama di nisan itu, ‘’Satya Riandy’’. Nama itu terukir indah di nisan. Aku terduduk dalam kerapuhan. Apa ini? Mengapa Satya harus kutemukan di sini, keluh ku. Aku luapkan semua amarah, kesedihan, kerinduanku di samping makam Satya. Mengapa ia pergi begitu cepat tanpa tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Aku terus menangis dan terus berusaha bangun dari mimpi buruk ini. Tapi tidak, ini kenyataan, kenyataan yang pahit dan harus kuterima, batinku.
Doni menjelaskan apa yang terjadi pada Satya sebulan sebelum pertandingan terakhir dimulai. Gagal ginjal yang telah dideritanya dua tahun belakangan itulah yang telah merenggut angan-angan dan cita-citanya.
Seketika aku tenggelam dalam kebingungan, sebab selama ini, tak pernah aku melihat Satya mengeluh sakit atau lemah saat berada di sekolah. Hanya tampang gembira dan kuatlah yang kulihat di wajahnya. Dia begitu pintar menyimpan rahasia itu hingga tak satu orangpun tahu tentang apa yang telah dia tanggung selama bertahun-tahun itu. Operasi yang dilakukan sebulan sebelum ujian itu tidak berhasil. Sang bintang yang selalu kunantikan di setiap pertandingan itu telah pergi untuk selama-lamanya. Tak ada lagi seorang Satya di hidupku. Semua impian dan rencana-rencana yang telah ia rangkai harus terkubur bersama sakit yang telah dideritanya.
Surya pun mulai menghilang dan akupun berlalu. Doni mengantarku pulang dan memberikanku sebuah kotak kecil yang berbungkuskan koran. Kudapati surat dan sehelai baju basket milik Satya beserta tanda tangannya.
***
‘’Aku ingin mengulang semua kenangan itu bersamamu di masa yang akan datang. Jangan lupakan aku meskipun dalam mimpimu. Aku menyayang mu...’’ Itulah bait terakhir yang ditulisnya. Aku menyayangimu, ucapku dalam hati.
Hatiku lega karena Satya juga mempunyai perasaan yang sama padaku. Dia adalah kenangan terindah dalam hidupku, yang tak akan pernah terhapus. Kututup surat itu dengan air mata. Kisahku dan dia terlalu indah untuk dilupakan. Awan yang gelap telah berubah menjadi hujan. Seolah ikut bersedih dengan apa yang kualami.
***
Tri Wulandari, SMPN 1 Selatpanjang
‘’Aku merasa sangat beruntung mengenalmu, Gita.’’ Kalimat itu yang ditulisnya. Kulanjutkan lagi membaca surat itu dan kutemukan lagi bait yang indah, bait yang mengingatkanku tentang kejadian saat masih SMP dulu.
Pagi itu aku dan Rena pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku dan di saat itu pula Satya juga berada di sana. Satya adalah kapten tim basket di sekolahku, hanya itu yang ku ketahui tentangnya. Suasana perpustakaan menjadi sedikit tegang ketika terjadi pertengkaran kecil antara aku dan Satya. Pasalnya karena buku yang kami pinjam hanya tinggal satu. Aku sangat memerlukan buku itu, begitu juga Satya. Perang mulut yang terjadi hampir lima belas menit itu usai juga setelah Bu Ana mengambil keputusan bahwa buku tidak akan dipinjamkan kepada aku maupun Satya. Aku dan Rena keluar dari perpustakaan dengan hati yang kesal.
Setelah sepekan kejadian itu Satya datang ke rumahku dengan membawa buku yang ingin aku pinjam di perpustakaan kemarin. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya. Dari mana dia tahu rumahku, pikirku dalam hati. Seperti tahu apa yang kupikirkan, Satya langsung menyodorkan buku itu.
‘’Aku tahu rumah kamu dari Rena, nih bukunya,’’ ucap Satya. Aku hanya tersenyum sambil mencoba menutupi kebingunganku.
‘’Oh iya,hmm... Makasih ya...’’ balasku gugup. Tak lama kemudian Satya pun berpamitan pulang, sedangkan aku terus tenggelam dalam kebingungan. Entah apa yang membuat Satya bersikap seperti itu, apakah mungkin ia kasihan, atau apa? aku juga tidak tahu.
***
Di kantin aku duduk sendiri sambil melahap semangkok bakso. Satya datang dan mengambil posisi tempat di sampingku. Ia menyapa dan menngajakku ngobrol. Begitu akrab hingga tak sedekitpun kami biarkan lewat tampa berbicara. Ia bercerita tentang impian dan cita-citanya. Entah apa yang membuat aku dan dia bisa sedekat itu. Aku merasa dia bukanlah orang asing bagiku. Begitu bodohnya aku yang dulunya berpikir bahwa dia cowok angkuh yang sombong. Dia mengajakku masuk ke dunianya yang penuh perencanaan. Begitu banyak hal yang telah ia rencanakan untuk masa yang akan datang. Sialnya, bel begitu cepat berbunyi hingga obrolanku dengannya harus terhent dan aku tak tahu kapan itu akan berlanjut.
Kenangan itulah yang ditulisnya, dan sejak saat itu aku mulai mengenal Satya lebih jauh. Dulu di mataku Satya begitu angkuh dan sombong, tapi tidak untuk sekarang, di mataku sekarang Satya adalah seseorang yang berarti dan begitu penting dalam hidupku, entahlah, aku tidak tahu mengapa perasaan itu tiba-tiba hadir untuknya.
Bahkan setiap pertandingan basket di sekolah, aku selalu menyempatkan diri untuk melihatnya, walaupun sama sekali aku tak menyukai basket. Saat itu aku telah menyimpan perasaan padanya, walaupun dia tak pernah menyadarinya. Kuhabiskan waktu hanya untuk mengenal sosoknya lebih dalam lagi. Tak satu pertandinganpun aku lewati, dan hal itu sudah menjadi kebiasaan bagiku. Aku masih ingat ketika ia mengatakan bahwa aku adalah penyemangat baginya. Dan itu akan terus kuingat.
***
Ujian Akhir Sekolah sudah di depan mata, dan pekan depan adalah pekan terakhir pertandingan basket sekolahku. Aku bersikeras untuk melihatnya walaupun mama tidak mengizinkanku keluar rumah karena harus belajar untuk menghadapi ujian. tapi aku tak peduli dan terus pergi. Pertandinganpun hampir dimulai, mataku menerawang ke setiap tempat, tapi Satya tak juga kutemukan.Dia di mana ya, tanyaku dalam hati. Hatiku mulai tak karuan, dan akhirnya aku memutuskan untuk menemui Doni teman Satya.
‘’Satya mana Don, kok nggak kelihatan?’’ tanyaku.
‘’Satya sedang sakit jadi nggak bisa main,’’ jawab Doni ringkas.
Pikirku Satya hanya sakit biasa dan akan masuk sekolah beberapa hari kemudian. Namun dugaanku salah, hingga hari ujian akhirpun Satya tak juga muncul. Satya hilang tanpa suatu alasan yang jelas. Tak ada kabar darinya hingga hari kelulusan tiba.
Aku lulus dengan nilai memuaskan, tapi tak kulihat nama Satya di papan pengumuman itu. Apakah dia telah pindah sekolah atau apa, aku tak tahu. Harapanku untuk mendapatkan tanda tangannyapun musnah sudah. Dia meninggalkanku tanpa tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya.
Dua bulan berlalu kabarpun masih belum juga kudapatkan. Hingga suatu sore Doni datang ke rumahku dan mengajakku pergi. Dia tak memberitahukan tentang tujuan kepergian itu. Satu jam sudah kuhabiskan waktu di dalam mobil bersama Doni. Wajahnya terlihat tegang dan kusam ketika menyuruhku turun dari mobil. Tahu tidak sekarang aku berada di mana? Pemakaman. Ya sekarang aku berada di sebuah pemakaman.
Doni menuntunku berjalan dan aku mengikutinya. Kami pun berhenti di depan sebuah makam. Aku seakan tak percaya ketika melihat nama di nisan itu, ‘’Satya Riandy’’. Nama itu terukir indah di nisan. Aku terduduk dalam kerapuhan. Apa ini? Mengapa Satya harus kutemukan di sini, keluh ku. Aku luapkan semua amarah, kesedihan, kerinduanku di samping makam Satya. Mengapa ia pergi begitu cepat tanpa tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Aku terus menangis dan terus berusaha bangun dari mimpi buruk ini. Tapi tidak, ini kenyataan, kenyataan yang pahit dan harus kuterima, batinku.
Doni menjelaskan apa yang terjadi pada Satya sebulan sebelum pertandingan terakhir dimulai. Gagal ginjal yang telah dideritanya dua tahun belakangan itulah yang telah merenggut angan-angan dan cita-citanya.
Seketika aku tenggelam dalam kebingungan, sebab selama ini, tak pernah aku melihat Satya mengeluh sakit atau lemah saat berada di sekolah. Hanya tampang gembira dan kuatlah yang kulihat di wajahnya. Dia begitu pintar menyimpan rahasia itu hingga tak satu orangpun tahu tentang apa yang telah dia tanggung selama bertahun-tahun itu. Operasi yang dilakukan sebulan sebelum ujian itu tidak berhasil. Sang bintang yang selalu kunantikan di setiap pertandingan itu telah pergi untuk selama-lamanya. Tak ada lagi seorang Satya di hidupku. Semua impian dan rencana-rencana yang telah ia rangkai harus terkubur bersama sakit yang telah dideritanya.
Surya pun mulai menghilang dan akupun berlalu. Doni mengantarku pulang dan memberikanku sebuah kotak kecil yang berbungkuskan koran. Kudapati surat dan sehelai baju basket milik Satya beserta tanda tangannya.
***
‘’Aku ingin mengulang semua kenangan itu bersamamu di masa yang akan datang. Jangan lupakan aku meskipun dalam mimpimu. Aku menyayang mu...’’ Itulah bait terakhir yang ditulisnya. Aku menyayangimu, ucapku dalam hati.
Hatiku lega karena Satya juga mempunyai perasaan yang sama padaku. Dia adalah kenangan terindah dalam hidupku, yang tak akan pernah terhapus. Kututup surat itu dengan air mata. Kisahku dan dia terlalu indah untuk dilupakan. Awan yang gelap telah berubah menjadi hujan. Seolah ikut bersedih dengan apa yang kualami.
***
Tri Wulandari, SMPN 1 Selatpanjang
Comments
Post a Comment