Skip to main content

Anak Jalanan di Hari Anak Nasional ''Aku Ingin Sekolah Lagi''

Rabu (23/7) lalu, seluruh daerah di Indonesia, termasuk Pekanbaru memperingati Hari Anak Nasional (HAN) ke-24. Lalu, bagaimana dengan nasib anak jalanan yang ada di kota bertuah ini?

Panas matahari menyengat kulit. Seorang bocah perempuan berlari mengejar oplet yang mangkal menunggu penumpang di depan Mal SKA. Lalu, ia duduk di bangku serap sambil mengeluarkan sebuah alat yang terbuat dari tutup botol minuman yang dipaku di ujung sebilah kayu. Bocah perempuan berambut keriting dan berkulit hitam manis itu pun bernyanyi: Siang hari di jalanan. Malam hari di jalanan. Kadang aku lupa pulang. Ayah ibu kebingungan.

Tuan... bukannya aku tak mau belajar. Tapi keadaan yang tak mau mengajar. Terpaksa aku menyanyi menghibur hari yang sedih. Terpaksa aku menyanyi, belajar hidup mandiri. Jalanan...Tak selamanya kau suka. Jalanan, ooo tak salamanya kau curang....Begitulah bunyi lirik yang dinyanyikan bocah yang diketahui bernama Rada (8).

Lirik itu merupakan ciptaan anak-anak jalanan yang ada di Jalan Soekarno Hatta Simpang Jalan Tuanku Tambusai (depan mal SKA). Bahkan mereka sudah menciptakan beberapa lagu dan bisa dijadikan sebuah album. Uniknya, karena mereka sering dikejar Satpol Pamong Praja (PP), mereka pun menciptakan lagu dengan judul Satpol PP.

Awalnya, ketika Rada dan kawan-kawannya didekati, mereka lebih banyak diam. Bahkan di antara mereka lebih memilih menutup mulut. Mereka tak mau bicara lantaran takut ditangkap Satpol PP. ‘’Bang, ini dimasukkan ke koran? Nanti kami ditangkap Pamong. Kan, Pamong itu baca koran?’’ Celetuk salah seorang di antara mereka. Setelah diberi pengertian, akhirnya mereka bisa bicara lebih leluasa, terkadang dengan kepolosan mereka.

Dari pancaran wajah mereka, terlihat ingin sekolah. ‘’Kami bisa sekolah, Bang? Sekolahkan kami Bang?’’ Kata-kata itulah yang pertama kali terlontar dari mulut mereka. Dari ungkapan mereka tadi, terlihat betapa mereka mendambakan untuk dapat mengecap sekolah, seperti kawan-kawan mereka yang secara ekonomi lebih beruntung dari mereka. Kalau bersekolah, tentunya mereka lebih mempunyai masa depan yang lebih jelas, dari pada di jalanan yang tak karuan.
Rada belum pernah sekolah meski kini usianya sudah delapan tahun. Ia tidak sekolah karena orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya. Ayahnya sudah meninggal dunia sedangkan ibunya hanyalah seorang pengamen. Sejak bayi, ia sudah dibawa ibunya pergi mengamen.

Bukan hanya Rada, Muhammad Edwar (15) juga mempunyai nasib yang sama. Walaupun ia sempat merasakan duduk di bangku SD, tapi tidak tamat. Lagi, disebabkan alasan klasik, tidak ada biaya. Ayahnya hanya bekerja sebagai Pembalak di Kabupaten Kuantan Singingi. Akhirnya, dia pun terpaksa memilih untuk berhenti dari sekolah dan merantau ke kota untuk mengubah nasib. Padahal Edwar merupakan anak yang cerdas. Buktinya, dari kelas 1 hingga kelas 3, juara satu tidak pernah lepas dari tangannya. Cita-citanya untuk menjadi pilot pupus sudah. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama orang tua Rada.

Dalam sehari kalau lagi beruntung, mereka bisa mendapatkan Rp 20.000. Tapi, kalau tidak cuma Rp 10.000. Uangnya selain untuk kebutuhan sehari-hari, juga mereka tabung, bahkan ada yang mengirimkan ke orang tuanya yang berada di kampung.

Lokasi mereka mengamen antara lain Simpang SKA, Jalan Riau, Panam, dan depan Gramedia. Biasanya mereka mengamen dari pukul 14.00-23.00 WIB. Pagi hari mereka jarang mengamen karena Satpol PP melakukan penertiban. Dijekar-kejar Satpol PP pun sudah menjadi ‘makanan’ mereka sehari-hari. Sehingga pagi hari terkadang di antara mereka memilih menjual koran.

‘’Pagi hari, kami jarang mengamen karena pamong razia,’’ kata Edwar didampingi kawan-kawannya yang lain. Edwar menceritakan, kalau dikejar pamong mereka terpaksa lari pontang-panting. Ada yang lari ke semak-semak dan ada juga ke kolong-kolong. Tidak peduli nyawa melayang ditabrak mobil. ‘’Pokoknya, bagaimana bisa lolos dari kejaran pamong,’’ tutur lelaki kelahiran 10 Juni 1993.

Sementara itu, orang tua Rada, Nurjanah (52) mengaku sedih karena tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Keterampilan tak punya. Untuk bertahan hidup, ia pun memilih sebagai peminta-minta.
‘’Bagaimana mungkin saya bisa menyekolahkan mereka (anak-anaknya, red)? Berapa lah yang di dapat dari mengamen ini? Untuk makan sehari-hari saja tak cukup,’’ kata Wanita asal Aceh ini.

‘’Katakanlah SPP-nya gratis. Tapi yang lainnya seperti seragam sekolah, kan tidak gratis? Pakai apa membelinya? Apalagi seperti saya ini, mana bisa membelinya,’’ tambah wanita yang mengaku tinggal tak jauh dari Simpang Ardath ini. Ia berharap agar pemerintah memperdulikan nasib seperti dirinya.

Ironis memang, negeri yang kekayaan alamnya melimpah ini masih banyak anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyak pendidikan. Misalnya, anak jalanan itu. Mereka tidak bisa menikmati dunia pendidikan seperti teman-teman yang seusia dengan mereka. Ketika anak-anak seusia dengan mereka bersekolah dengan gembira dan hati yang riang, para anak jalanan itu harus berjuang di jalanan. Akankah nasih anak jalanan seperti itu selamanya? Hidup tanpa masa depan yang jelas.(Dodi Putra CCMD)

Comments