Skip to main content

Di Pusara dan Impian - Sebuah Cerpen

“Semakin hari masalah hidup ini semakin sulit saja untuk aku jalani,” keluhan itu keluar dari bibir Laura yang selalu dikagumi oleh para siswa sekolahnya. Berdiri dengan mata yang tajam di sisi jendela kelas sambil melihat luas ke arah langit yang membiru seraya tenggelam dengan lamunan yang tak menentu.

“Ayo .... yooooyou, lagi mikiran siapa tow? Pasti mikiran si doinya nich!” tegur Ika dengan nada candanya saat menghampiri Laura.

“Aduh, Ka ....kamu membuat jantungku bak terempas di bebatuan saja. Minggir kamu, aku mau ke kantin,” kata Laura, karena marah dikejutkan oleh Ika sambil pergi menuju kantin yang berada di pojok kiri pas sebelah kelasnya.

“Loh, kok ngambek manis! Bentar dong, mo kemana? Aku ikut.” Ika buru-buru mengikuti Laura.

Di dalam riuh kantin Mbok Nah dengan suara lantang anak bangsa yang serba kelaparan, tidak membuat suasana Laura berubah. Matanya yang tajam membuat Ika merasa kebingungan dan tidak bisa berbuat apa-apa.
“Sory?” Cuma itu yang bisa diucapkan Ika. Namun Laura tetap membisu sambil mengunyah kerupuk pisang kesukaannya.


Beberapa menit berlalu tanpa ada jawaban yang jelas dari Laura, sehinga membuat dua sahabat itu seperti orang yang belum kenal sama sekali. Bel sekolah berbunyi, saatnya anak-anak bangsa harus memulai menuntut ilmu dari guru.
Detik, menit kian berlalu diheningkan para anak bangsa yang menuntut ilmu, terkadang adanya soalan bahkan jawaban yang dilontarkan dari mulut ke mulut membuat heningan berubah menjadi gemuruh menandakan tingginya semangat belajat para anak bangsa tersebut.
“Ting....tong....ting... tung ....rek ....rek ....rek” itu bukan bunyi gendang atau penjual es tontong, tapi itulah bunyi bel sekolah yang kehabisan batre menandakan pulang.

Seruan kegirangan anak bangsa menuju arah pulang ke rumahnya masing-masing. Terlihat di depan pagar sekolah seorang wanita menunduk lemas seperti kehilangan sesuatu yang berharga. “Baaa....ada yang jatuh Mbok, atau lagi nungguin taksi ya?” kata Laura kepada Ika, sahabat karibnya itu.

“Idih Laura, kenapa sih loe jahat banget sama aku.”
“Boro-boro bila gue jahat, emang siapa bilang?”
“Aku yang bilang, habis loe tadi nggak mau bicara, malah bawaaannya cemberut aja,” jelas Ika.

“Oo.... itu tho, biasa mut gue lagi nggak enak aja, balas Laura sambil berlari menuju rumahnya. Sedangkan Ika cuma bisa berteriak “tungguuuuu” sambil berlari mengejar Laura. Rumah Laura dan Ika berdekatan. Merki jarak sekolah dengan rumah mereka jauh, tapi kedua gadis itu tidak pernah mengeluh untuk terus menuntut ilmu, walau hanya berjalan kaki.

Selang beberapa minggu tibalah minggu tenang yang bisa digunakan para siswa untuk menghadapi ujian nasional. Hari semacam ini adalah kesempatan siswa kelas III untuk libur sekolah dan belajar di rumahnya masing-masing.
“Assalamualaikum....ada anak manis datang nich, ada Laura si jelek di rumah?” tiba-tiba suara itu muncul di depan rumahnya.
“Wa’alaikumsalam. Siapa sih Ra? Coba sana lihat,” suruh Ibu Laura yang sedang duduk di kursi teras belakang rumah.

“Biasa Bunda, siapa lagi kalau bukan si sentil Ika. Baiklah Bunda, Ra pamit ke depan dulu.” Laura pun meninggalkan Bundanya dan menuju ke ruangan depan dengan berjalan perlahan-lahan dan terinjit-injit menghampiri pintu.
“Ayoo....orang sentil datang bakalan rubuh rumah gue!”canda Laura sambil membuka pintu rumahnya. Ika yang berdiri sambil bernyanyi-nyanyi kecil kaget, sehingga latahnya pun keluar.

Laurapun mempersilakan sahabatnya itu masuk dan membawanya ke kamar. Memang, keakraban mereka seperti tak terpisahkan lagi. Karena mereka sejak kecil sudah bersama, malahan tanggal kelahiran merekapun sama , cuma waktu dan tempat saja yang berbeda. Laura sudah menganggap keluarga Ika seperti keluarga sendiri, begitu juga sebaliknya.

“Ra, nggak sadar ya kita udah mo ujian, kalau mikir hasil ujian nanti, jantung gue dek-dekan,” kata Ika saat berbaring di kasur milik Laura sambil memeluk boneka kesukaannya, yaitu Boneka Panda yang sebesar Baby berumur tujuh bulan.
“Makanya jangan dipikirkan terus, yang penting belajar yang benar dan usahakan semampunya agar bisa menjawab dengan tepat. Semua orang kalu dipikir pasti gitulah hasilnya,” terang Laura sambil menyisir rambutnya yang panjang terurai lurus.
“Kamu serius amat sih Ra, sedangkan amat aja nggak nyeriusin,” canda Ika sambil cekikikan tertawa.

Ika memang sudah wataknya begitu, sukanya sudah serius ngomong, ujung-ujungnya ngawur membuat Laura menarik napas panjang-panjang.
“Waduh,” keluar nada itu dari bibir manis Laura.
“Lo...kok ngeluh. Emangnya ada apaan nih cantik? Dari kemarin kamu kayak orang yang tak punya semangat aja.”

“Haaa....haaa.....haaa” Laura tertawa sejadi-jadinya, sehingga meneteskan air mata di pipinya yang merah, sehingga membuat sahabatnya itu keheranan.
“Lebih baik gue pulang aja daripada ngobrol sama orang yang sakit jiwa begini,” kata Ika sambil meninggalkan Laura sendiri. Tawa Laura yang begitu, karena melihat celana pendek yang dipakai Ika saat itu terbaik, malahan yang lucunya lagi dia menggunakan celana yang sobek.

“Mungkin kalau Ika tahu dia bisa malu sendiri,” Laura berkata dalam hati.
Ujian sekolahpun sudah dijalani kedua gadis cantik itu dengan mendapatkan hasil yang bagus. Namun di wajah Laura bukan menunjukan kegembiraan, tapi malahan sedih. Kenapa tidak, yang dipikirkan Laura hanya ada bayangan Bunda tercintanya.
Sudah hampir dua tahun Bunda gadis itu mengidap penyakit yang sangat serius, dan kata dokter pun Bundanya tidak bisa diobati melainkan pasrah kepada Yang Maha Kuasa saja. Ayah Laura sudah lama meninggal dunia semenjak Laura di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Semua biaya keperluan rumah termasuk biaya sekolah Laura selama ini Bundanyalah yang menanggung dengan hasil menerima upah menjahit pakaian.
Laura akan satu-satunya tugasnya hanyalah menuntut ilmu. tapi setelah menamatkan sekolah ini Laura bingung, apakah ia melanjutkan lagi ke perguruan tinggi atau hanya sampai di sini saja dan membantu Bundanya untuk mencari nafkah hidup mereka.
“Bunda, bagaimana kalau Ra nggak melanjutkan ke perguruan tinggi lagi?”
“Loh .. kenapa harus begitu?” jawab Bunda Laura kaget mendengar omongan anak yang disayanginya tersebut.

“Bukan begitu Bunda, bukankah Ra sudah menamatkan SMA, Ra rasa itu udah cukup pengalaman buat Ra untuk mengetahui jalan hidup dan pedoman untuk menuju kebaikan. Selain itu, Ra nggak sanggup melihat Bunda harus bersusah payah sendiri untuk membiayai kehidupan kita yang cukup besar Bun? Kalau Ra nggak melanjutkannya tentu Ra bisa membantu Bunda!”

Sesaat Bunda gadis itu manis itu hanya terdiam mendengar ucapan anaknya.
“Tidak, Bunda rasa apa yang kamu pikirkan adalah salah. Bunda berkeinginan kamu bisa menjadi orang yang sukses, bukan seperti Bunda sekarang ini, meskipun Ayahmu tidak lagi bersama kita, tapi bagi Bunda hanya kamu yang bisa buat semangat hidup Bunda sampai sekarang. Bagaimanapun Bunda ingin sekali melihat anak gadis Bunda menjadi orang yang sukses. Seandainya Bunda tidak sempat melihat kamu sukses, namun di alam baka sana Bunda bisa tenang nantinya,” nasehat Bunda dengan berlinangan air mata.
“Bun...tidak seharusnya Bunda berkata sedemikian, Laura sangat sayangkan Bunda. Dengan keadaan Bunda yang sedemikianlah Laura tidak mau Bunda terlalu capek untuk semua ini yang seharusnya sudah saatnya Bunda istirahat. Kalau ini keinginan Bunda, Ra berjanji akan berusaha semampu Ra, karena hanya kebahagian Bundalah yang Ra inginkan,” jawab Laura sambil memeluk Bunda tersayangnya.

Kini Laura sudah duduk di bangku perkuliahan. “Ka, gimana dengan tugasnya, apa sudah disiapkan?” tanya Laura kepada sahabatnya yang tidak terpisahkan itu. Sebab di mana Laura sekolah bahkan bermain, Ika pasti ada. Kekompakan kedua gadis itu membuat Bunda Laura ikut merasa bahagia, karena dia berpikir suatu saat dia meninggal nanti Laura masih punya orang yang disayanginya dan memperhatikannya.
“Bundaaaa.....,” jerit Laura sambil menuju Bundanya yang terkapar di lantai dengan mengaduh kesakitan.

“Ada apaan sih Ra,” rasa kaget Ika mendengar Laura menjerit dengan wajah menegangkan.
“Bunda kenapa? kita ke dokter ya Bun, maaafkan Ra, karena tidak di samping Bunda, sehingga Bunda harus tersiksa seperti ini.”
Akhirnya Ika tau kenapa Laura tadi menjerit, setelah melihat yang sebenarnya apa yang terjadi.

Kedua gadis itu buru-buru membawa Bunda Laura ke rumah sakit. Sudah hampir 5 jam Bunda Laura tidak sadarkan diri, sehingga isakan tangis Laura tak henti-hentinya.
“Sudahlah Ra, kita berdoa saja agar semuanya baik-baik saja,” kata Ika memberi semangat kepada Laura.

“Dokter, gimana dengan kesehatan Bunda?” sela Laura. Dokter hanya bisa menarik napas panjang. “Kamu yang sabar ya, semua itu Yang Maha Kuasa yang berkehendak. Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Dengan waktu yang singkat ini pergunakanlah waktumu untuk orang tuamu,” hanya itu yang bisa diucapkan dokter kepada Laura sambil meningalkan ruangan kamar rawat Bunda Laura saat itu.

“Bun, apakah itu Bunda, Bunda ini Laura. Alhamdulillah ...... Ra baik-baik saja Bun, syukurlah Bunda sudah sadar.” Kegembiraan di raut wajah Laura saat itu membuat Ika yang baru saja pulang kuliah datang untuk melihatnya. Sudah sekian lama Bunda Laura tidak sadarkan diri. Baru saja sesaat Bunda Laura sadar, tapi itu hanyalah untuk sesaat dan akhirnyamenghembuskan napas terakhir. Laura hanya terdiam dan kali ini tidak mengeluarkan isak tangis yang kuat buat Bundanya, tetapi hanyalah tersenyum dengan air mata yang hanya berlinang di antara kelopak mata indahnya sambil memeluk Ika yang saat itu berdiri di sampingnya Laura. Laura tau pasti Bunda akan pergi jauh, meskipun tidak tau itu entah kapan waktunya, sebelum Laura sudah siap apa yang akan terjadi, Laura juga senang karena di detik terakhir Bundanya, dia sempat melihat Bundanya tersenyum dan memanggil namanya.

Tidak sadar hampir 5 tahun kepergian Bunda Laura, dan kin Laura sudah menyelesaikan kuliahnya dengan gelar Sarjana Kedokteran. Selama ini Laura kuliah di jurusan kedokteran dan berniat meskipun belum bisa untuk menjaga dan mengobati penyakit Bundanya, tapi suatu saat dia bisa menolong orang lain dengan kemampuannya.
“Bunda, lihatlah kini Ra sudah mewujudkan impian Bunda, meski Bunda di sana Ra nggak tau gimana, tapi Ra yakin pasti Bunda bahagia. Meskipun Ayah dan Bunda jauh di sana, tapi Ra merasakah kalian selalu ada di hati Ra. Impian ini semua yang Ra lakukan hanyalah untuk kalian, semoga kalian tenang di alam sana.” sela Laura yang saat itu berada di pusara Bunda dan Ayahnya yang saling berdekatan.

-----------------------------------
Karya Dian Martinah, Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) laksmana Bengkalis, Riau.

Comments