Skip to main content

Pesan Cinta dari Babe

Usman Carlo sudah menjalani profesi sebagai guru hampir selama empat dasawarsa, tepatnya 38 tahun. Per 1 Desember 2008 ini beliau memasuki masa pensiun. Di hari-hari terakhir masa tugasnya, Usman Carlo masih saja menebar asa dan cinta kepada profesi, terutama kepada para siswanya.

Suatu pagi. Jam baru menunjukkan pukul 06.00 WIB. Dedaunan masih dibasahi embun. Tapi seorang pria paruh baya tampak semangat memacu sepeda motornya. Tujuannya: SMAN 4 Pekanbaru.
Begitu tiba di halaman sekolah, beberapa siswa menyapanya. ”Selamat pagi Babe,” sapa mereka ceria.

Pria yang dipanggil Babe itu tak lain adalah Usman Carlo. Dia adalah guru pendidikan jasmani dan kesehatan di sekolah itu. Orangnya kocak dan ramah. Perawakannya tegap dan gesit, meski pun bapak guru satu ini usianya sudah 62 tahun! (Usman Carlo lahir 24 November 1946).

Entah kenapa dia dipanggil Babe. Tapi Usman Carlo sendiri nggak keberatan dipanggil dengan panggilan itu. Malah, katanya, dia malah merasa lebih akrab.
”Saya sudah 38 tahun menjadi guru. Tapi 1 Desember besok saya pensiun,” ujarnya saat ngobrol dengan Xpresi di kantin SMAN 4, Jumat (28/11) kemarin.

Menjadi guru itu pasti ada suka dukanya dong? Ditanya begitu, Babe langsung tertawa. Dia bilang, emang sih banyak suka dukanya. Tapi bagi Babe, seberapa pun susahnya, dia menjalaninya setulus hati.

“Menjadi guru di zaman sekarang tak seberat menjadi guru ketika masa dulu. Kalau sekarang, penghasilan guru itu lumayan, banyak tunjangan ini itu. Tapi kalau saya dulu, saat tahun 1970-an menjadi guru honor, penghasilan saya sebulan Rp10 ribu,” ceritanya sambil tersenyum.

Tapi kata Babe, meski begitu, dia sangat bangga menjadi seorang guru. Katanya lagi, kalau dulu orang tua kita mengorbankan nyawa untuk berjuang meraih kemerdekaan, maka dengan menjadi guru, dia bisa ikut berjuang demi membesarkan bangsa ini.
”Karena itu, saya berpesan kepada semua guru untuk makin bertanggung jawab kepada tugasnya. Dan kepada siswa, saya minta untuk jangan menyia-nyiakan kesempatan dan raihlah ilmu setinggi bintang,” ujarnya serius.

Stop Sekolah

Perjalanan hidup Babe menjadi seorang guru ternyata nggak semulus jalan tol. Babe ternyata pernah berhenti sekolah ketika duduk di bangku SMA, karena tak ada biaya lagi untuk terus sekolah.

Namun Babe tidak patah semangat. Babe lalu mencoba mendapatkan uang dengan membuka gelanggang bela diri yang saat itu bernama Sisatgu (silat sambut tikam gelung ular). Ketika itu, murid yang belajar bela diri dengannya cukup banyak. Jadi, meskipun masih muda banget, Babe sudah bisa mengajar bela diri, ilmu yang memang ditekuni dan disukainya.

“Saya memang sangat suka bela diri, karena merasa panggilan hati. Karena dengan bela diri, kita dapat melindungi diri sendiri dan bila mampu melindungi orang lain,” ceritanya.

Gigihnya beliau dengan gelanggangnya membuat simpati seorang guru olahraga SMOA (Sekolah Menengah Olahraga Atas). Babe lalu ditawari sekolah di SMOA tanpa dipungut biaya. Betapa senangnya Babe bisa sekolah lagi. Kesempatan itu langsung disambarnya, dan Babe bisa lulus dengan baik. Bahkan di SMOA itu, Babe pun ditawari menjadi guru. Honornya waktu itu sekitar Rp10 ribu per bulan.
”Waktu itu tahun 1970, uang Rp10 ribu sangat berarti buat saya. Apalagi uang itu hasil keringat sendiri,” kenang Babe.

Terhitung sejak tahun tahun 1970-an, Babe telah mengajar di 7 sekolah, yaitu di SMOA, Sekolah Teknik) Muhammadiyah, Sekolah Teknik Menengah Muhammadiyah, SKMA (Sekolah Kehutanan Menengah Atas), SMAN 2 Pekanbaru, Perguruan Babussalam dan sekarang di SMAN 4 Pekanbaru.

”Saya memang tidak ada gelar sarjana, tapi saya senang saya bisa mengajar dan memberikan sesuatu yang berguna kepada seluruh siswa saya,” katanya lagi.


Dijahilin Siswa

Menjadi seorang guru, Babe mengaku kalau hidupnya memang tak mulus. Apalagi yang namanya siswa, beberapa juga sering nakal dan jahil. Dulu, ceritanya, dia punya sepeda onta pemberian orang tua.

”Namun sepeda itu suka dipreteli siswa-siswa yang saya beri nilai kurang bagus. Tapi itu biasa, kenakalan remaja yang masih bisa ditoleransi,” katanya sambil tersenyum. Duh, menghadapi kejahilan siswa aja, Babe masih bisa tersenyum lho!
Dia juga bercerita, dulu saat mengajar di SMAN 2 Pekanbaru, dia pernah diberi sebuah motor vespa oleh rekan sesama guru. ”Namanya Pak Panjaitan. Saya diberi vespa yang saya cicil dengan angsuran semampu saya. Akhirnya selama lima tahun vespa itu saya lunasi,” cerita suami dari Asma ini.

Sedangkan untuk tempat tinggal, Babe kini merasa bahagia karena memiliki sebuah rumah mungil yang ditinggalinya bersama keluarga. Dulu rumahnya itu, tanahnya diberikan orang tuanya.

”Bangun rumah itu pun diawali dengan menabung di toko bangunan, dan alhamdulillah rumah itu yang jadi tempat tinggal saya dengan keluarga hingga saat ini,” kenangnya.
Kini, Babe sudah merasa siap untuk menjalani masa pensiunnya dengan bahagia bersama istri, 6 anak dan 12 cucunya. Kebahagiaannya yang lain yakni jika mendengar kisah sukses siswa-siswanya.

”Karena walau bagaimanapun, tidak ada mantan siswa, mereka tetap saya kenang sebagai siswa saya, anak saya, sampai kapanpun. Semoga mereka bisa menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara,” ujar Babe penuh harap.
Begitu luhurnya kasih sayang seorang guru kepada siswanya. Terima kasih guruku….terima kasih Babeku…. (wido-sulviawati-CCMD/dri)

Comments