Satu lagu cerpen tentang cinta kami persembahkan, langsung baca aja:
---------------------------
“Demi ibu, menikahlah nak!”
Kata-kata ibu menyapa relung kalbu Nadi, lembut tapi menusuk. Tak kuasa menahan rasa, ia tersungkur dihamparan sajadah. Menikah? Adalah hal yang tak pernah terpikir bahkan terlintas dibenaknya. Ia masih ingin mereguk lautan ilmu yang makin dalam makin ingin ia selami. Tapi, menolak keinginan ibu adalah hal yang tak termaafkan baginya. Terpisahnya jarak, ruang dan waktu dengan ibu. Membuat Nadi tak bisa berkilah. Ibu yang kian hari kian parah karena penyakit asma yang dideritanya. Namun, apa daya kasih tak sampai. Di batasi oleh lautan yang membelah. Membelah jarak dan hati Nadi. Permintaan ibu atau ilmu? Nadi diam.
“Semalam ustad Irsyad melamarmu. Dia tidak membatasi, kau bebas memilih. Sekarang segala keputusan ada di tanganmu nak!” ujar ayah dari seberang sana sebelum mengahiri pembicaraan.
Pilihan yang sulit. Memilih atau tidak, sama-sama memiliki risiko. Sebab Allah adalah penulis skenario terhebat. Manusia tidak bisa memilih peran apa yang akan dimainkannya. Dalam lembar demi lembar kisah hidupnya. Seperti Nadi, di hadapkan pada pilihan yang sulit.
“Apakah ini ahir dari kisah seorang Nadi Ya Allah? Apakah harus berahir di denyut nadi ini? Aku bahkan tak mengenalnya, tapi aku juga tak ingin melukai nadiku (ibu) sendiri. Dan nadi ini hanya berdetak jauh lebih cepat ketika menatapnya, Faqih.” ungkapnya lirih.
Bedug Ashar bergema seantero kompleks. Adzan berkumandang bersaut-sautan. Nadi baru akan melangkah menaiki tangga masjid. Namun, sosok rupawan itu telah menawannya. Sosok itu juga menatapnya, seraya membingkiskan seutas senyum untuknya, hanya untuk Nadi. Buru-buru Nadi menarik pandangannya. Sosok itu, sosok yang membuat nadinya berpacu dari biasanya. Sosok itu adalah Fakih. Berkecimpungnya Nadi dalam sebuah organisasi masjid mempertemukannya dengan Fakih. Sosok yang ia kagumi walau tak begitu ia ketahui. Ingin sekali, gadis itu mengenalnya lebih jauh. Namun, karakter Nadi yang pemalu membuat dia harus meredam perasaan itu, jauh dipalung hati yang terdalam. Berulang kali Nadi meyakinkan dirinya sendiri, biarlah cinta ini hanya berdenyut di ujung nadi. Walau pada ahirnya, Nadi sadar kalau ternyata menahan cinta di ujung nadi jauh lebih sakit daripada menahan luka di nadi.
Nadi meraih HPnya. Ada pesan yang masuk. Buru-buru si mata coklat itu membukanya.
“Ayahanda?” Alis bak bulan sabit bertaut sedemikian rupa. Tanpa melewatkan satu karakter sekalipun Nadi membaca SMS dari ayahnya.
Nak,...
Tadi malam ibumu, kambuh lagi
Engkau telah dewasa, engkau bisa menentukan langkah
Engkau pilih surga ataupun neraka
Hanya engkau penerang kami untuk sampai pada cahaya
Menikahlah nak! Penuhi permintaan ibumu!
Bulir hangat mengalir dipelupuk mata. Nadi tersungkur dihamparan sejadah.
“Ku sujudkan seraut wajah tak berharga ini Ya Allah, hanya padaMu aku meminta jawab dari segala tanya. Kalau ini adalah jawaban dari Istikhoroh hamba, hamba mohon kokohkan hati hamba”. Nadi menangis di shubuh teduh.
“Aku tidak tau apa artinya cinta, pada ahirnya aku merasakannya. Aku tidak tau apa artinya di junjung cinta, pada ahirnya aku mendapatkannya. Aku tidak mengerti bagaimana berenang di samudra ilmu, pada ahirnya aku mereguknya. Tapi, aku hanya meminta satu cinta pada Pencipta, dan aku sedang menanti-Nya.” Sedesah gundah terdengar di ujung sana.
“Cinta tidak memperbaharui diri menjadi kebiasaan dan berbalik menjadi perbudakan. Ketika aku mencintai dirimu sesungguhnya aku sedang mencintai diriku sendiri dalam dirimu. Ketika hatimu digelayuti getir ragu. Pintalah! Jawab pada sang pemilik hati! Pecinta yang Maha Tinggi. Semoga apapun keputusanmu, Allah telah mengokohkan hatimu, hanya bersamamu.” Nadi tersenyum sebelum menutup telfon. Entah, mengapa walau belum pernah bersua. Nadi seakan telah mengenal sosok ini, Irsyad.
Bedug Magrib bertalu membahana. Merambat ke cakrawala. Rapat pengurus masjid baru usai beberapa menit yang lalu. Nadi khusuk berdo’a setelah adzan berkumandang.
“Ya, Allah. Tunjukkan aku pada langkahku, pada hatiku, pada cintaku, di bawah Rahman dan Rahimmu.” Pintanya lirih berbalut mukena putih.
“Masyaallah!!! Handphone aku mana???” Nadi kelabakan. Mata coklat itu sibuk memeriksa tiap inci dalam tasnya. Nihil. Tidak menemukan benda yang dicari.
“Jangan-jangan ketinggalan di masjid. Aduh...aku kok jadi pikun begini?” sesalnya sambil menepuk jidat. Buru-buru gadis itu menuju masjid yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya. Masih berbalutkan mukena putih bermotif bunga-bunga dia melangkah dengan cepat. Nadi menyipitkan mata. Sosok itu dikenalnya. Tapi, bukan itu. Benda dalam genggaman yang ditempelkan ke telinganya. Mata itu membelalak. “Itu kan HP aku,” ucapnya membatin.
“ Iya, pak. Nanti biar Irsyad sampaikan.” Nadi mendekat. Nafasnya tercekat. Apa maksudnya, Irsyad? Tanda tanya berkelindan di otaknya. Fakih terperanjat kaget. Dia baru sadar kehadiran gadis itu.
“Nadi,” sapa Fakih. Nadi diam.
“Maaf, tadi HP kamu jatuh pas rapat. Mau aku panggil, kamu sudah ke tempat wudhu. Lagi pula tadi sudah bedug, makanya aku pikir habis shalat saja. Eh, taunya kamu sudah pulang duluan.” Paparnya panjang lebar seraya menyodorkan HP Nadi. Jemari halus itu menyambutnya, walau mulutnya terkunci diam seribu bahasa.
“Tadi, ayah kamu menelfon.” Nadi mengerutkan kening.
“Beliau tanya, inikah jawabanmu nak?” kali ini mata coklat itu membelalak. Fakih tersenyum mantap.
“Ya,” sambungnya.
Jder, ada gelegar kecil di kepala Nadi. Dan dia tau nadinya kini berpacu dua ribu kali lipat lebih cepat dari biasanya. Tapi, apa maksudnya? Lagi-lagi Nadi penasaran.
“Maaf, aku sudah lancang. Namun, sungguh. Ku cintaimu lebih dari yang engkau tau.” Katanya lagi yang membuat Nadi terngangah hebat. Fakih berlalu meninggalkan Nadi yang masih membatang dalam tugu membisu. Bunyi halus dari mesennger membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kiri monitor. Dari seorang bernama, ustad Irsyad.
Bahkan namamu telah terukir di ujung nadiku.
Dengan cinta yang terus bertalu untukmu, Nadi.
Fakih_Irsyad.
Deg, hati Nadi gemuruh. “Apakah ini jawaban dari do’a ku,” pikirnya mendayu. Bahkan Allah punya cara yang sangat istimewa. Ternyata, Fakih dan Irsyad adalah orang yang sama. Banyak tanya yang ingin terlontar dari mulunya. Sejak kapan ia mengenalnya? Darimana Irsyad atau Fakih tau orang tuannya? Apakah Fakih Irsyad teman masa kecilnya? Namun, semua disimpannya rapat dalam derap hati yang tak sabar ingin berucap. Di serambi masjid sana, seorang pria tampan tersenyum untuk Nadi. Wajahnya yang bersih kian berseri di terpa sinar lampu. Lalu, sosok itu menabuh bedug yang bertalu seiring dengan hati mereka yang berpacu. Merambat hingga ke nadi yang berdenyut ingin lebih cepat lagi. Dan cinta ini terus bertalu di ujung nadi.
---------------------------
Cerpen cinta dengan judul ini buah tangan: Cinta Bertalu di Ujung Nadi Jatni Azna, Mahasiswa Ilmu komunikasi UIN Suska Riau.
---------------------------
“Demi ibu, menikahlah nak!”
Kata-kata ibu menyapa relung kalbu Nadi, lembut tapi menusuk. Tak kuasa menahan rasa, ia tersungkur dihamparan sajadah. Menikah? Adalah hal yang tak pernah terpikir bahkan terlintas dibenaknya. Ia masih ingin mereguk lautan ilmu yang makin dalam makin ingin ia selami. Tapi, menolak keinginan ibu adalah hal yang tak termaafkan baginya. Terpisahnya jarak, ruang dan waktu dengan ibu. Membuat Nadi tak bisa berkilah. Ibu yang kian hari kian parah karena penyakit asma yang dideritanya. Namun, apa daya kasih tak sampai. Di batasi oleh lautan yang membelah. Membelah jarak dan hati Nadi. Permintaan ibu atau ilmu? Nadi diam.
“Semalam ustad Irsyad melamarmu. Dia tidak membatasi, kau bebas memilih. Sekarang segala keputusan ada di tanganmu nak!” ujar ayah dari seberang sana sebelum mengahiri pembicaraan.
Pilihan yang sulit. Memilih atau tidak, sama-sama memiliki risiko. Sebab Allah adalah penulis skenario terhebat. Manusia tidak bisa memilih peran apa yang akan dimainkannya. Dalam lembar demi lembar kisah hidupnya. Seperti Nadi, di hadapkan pada pilihan yang sulit.
“Apakah ini ahir dari kisah seorang Nadi Ya Allah? Apakah harus berahir di denyut nadi ini? Aku bahkan tak mengenalnya, tapi aku juga tak ingin melukai nadiku (ibu) sendiri. Dan nadi ini hanya berdetak jauh lebih cepat ketika menatapnya, Faqih.” ungkapnya lirih.
Bedug Ashar bergema seantero kompleks. Adzan berkumandang bersaut-sautan. Nadi baru akan melangkah menaiki tangga masjid. Namun, sosok rupawan itu telah menawannya. Sosok itu juga menatapnya, seraya membingkiskan seutas senyum untuknya, hanya untuk Nadi. Buru-buru Nadi menarik pandangannya. Sosok itu, sosok yang membuat nadinya berpacu dari biasanya. Sosok itu adalah Fakih. Berkecimpungnya Nadi dalam sebuah organisasi masjid mempertemukannya dengan Fakih. Sosok yang ia kagumi walau tak begitu ia ketahui. Ingin sekali, gadis itu mengenalnya lebih jauh. Namun, karakter Nadi yang pemalu membuat dia harus meredam perasaan itu, jauh dipalung hati yang terdalam. Berulang kali Nadi meyakinkan dirinya sendiri, biarlah cinta ini hanya berdenyut di ujung nadi. Walau pada ahirnya, Nadi sadar kalau ternyata menahan cinta di ujung nadi jauh lebih sakit daripada menahan luka di nadi.
Nadi meraih HPnya. Ada pesan yang masuk. Buru-buru si mata coklat itu membukanya.
“Ayahanda?” Alis bak bulan sabit bertaut sedemikian rupa. Tanpa melewatkan satu karakter sekalipun Nadi membaca SMS dari ayahnya.
Nak,...
Tadi malam ibumu, kambuh lagi
Engkau telah dewasa, engkau bisa menentukan langkah
Engkau pilih surga ataupun neraka
Hanya engkau penerang kami untuk sampai pada cahaya
Menikahlah nak! Penuhi permintaan ibumu!
Bulir hangat mengalir dipelupuk mata. Nadi tersungkur dihamparan sejadah.
“Ku sujudkan seraut wajah tak berharga ini Ya Allah, hanya padaMu aku meminta jawab dari segala tanya. Kalau ini adalah jawaban dari Istikhoroh hamba, hamba mohon kokohkan hati hamba”. Nadi menangis di shubuh teduh.
“Aku tidak tau apa artinya cinta, pada ahirnya aku merasakannya. Aku tidak tau apa artinya di junjung cinta, pada ahirnya aku mendapatkannya. Aku tidak mengerti bagaimana berenang di samudra ilmu, pada ahirnya aku mereguknya. Tapi, aku hanya meminta satu cinta pada Pencipta, dan aku sedang menanti-Nya.” Sedesah gundah terdengar di ujung sana.
“Cinta tidak memperbaharui diri menjadi kebiasaan dan berbalik menjadi perbudakan. Ketika aku mencintai dirimu sesungguhnya aku sedang mencintai diriku sendiri dalam dirimu. Ketika hatimu digelayuti getir ragu. Pintalah! Jawab pada sang pemilik hati! Pecinta yang Maha Tinggi. Semoga apapun keputusanmu, Allah telah mengokohkan hatimu, hanya bersamamu.” Nadi tersenyum sebelum menutup telfon. Entah, mengapa walau belum pernah bersua. Nadi seakan telah mengenal sosok ini, Irsyad.
Bedug Magrib bertalu membahana. Merambat ke cakrawala. Rapat pengurus masjid baru usai beberapa menit yang lalu. Nadi khusuk berdo’a setelah adzan berkumandang.
“Ya, Allah. Tunjukkan aku pada langkahku, pada hatiku, pada cintaku, di bawah Rahman dan Rahimmu.” Pintanya lirih berbalut mukena putih.
“Masyaallah!!! Handphone aku mana???” Nadi kelabakan. Mata coklat itu sibuk memeriksa tiap inci dalam tasnya. Nihil. Tidak menemukan benda yang dicari.
“Jangan-jangan ketinggalan di masjid. Aduh...aku kok jadi pikun begini?” sesalnya sambil menepuk jidat. Buru-buru gadis itu menuju masjid yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya. Masih berbalutkan mukena putih bermotif bunga-bunga dia melangkah dengan cepat. Nadi menyipitkan mata. Sosok itu dikenalnya. Tapi, bukan itu. Benda dalam genggaman yang ditempelkan ke telinganya. Mata itu membelalak. “Itu kan HP aku,” ucapnya membatin.
“ Iya, pak. Nanti biar Irsyad sampaikan.” Nadi mendekat. Nafasnya tercekat. Apa maksudnya, Irsyad? Tanda tanya berkelindan di otaknya. Fakih terperanjat kaget. Dia baru sadar kehadiran gadis itu.
“Nadi,” sapa Fakih. Nadi diam.
“Maaf, tadi HP kamu jatuh pas rapat. Mau aku panggil, kamu sudah ke tempat wudhu. Lagi pula tadi sudah bedug, makanya aku pikir habis shalat saja. Eh, taunya kamu sudah pulang duluan.” Paparnya panjang lebar seraya menyodorkan HP Nadi. Jemari halus itu menyambutnya, walau mulutnya terkunci diam seribu bahasa.
“Tadi, ayah kamu menelfon.” Nadi mengerutkan kening.
“Beliau tanya, inikah jawabanmu nak?” kali ini mata coklat itu membelalak. Fakih tersenyum mantap.
“Ya,” sambungnya.
Jder, ada gelegar kecil di kepala Nadi. Dan dia tau nadinya kini berpacu dua ribu kali lipat lebih cepat dari biasanya. Tapi, apa maksudnya? Lagi-lagi Nadi penasaran.
“Maaf, aku sudah lancang. Namun, sungguh. Ku cintaimu lebih dari yang engkau tau.” Katanya lagi yang membuat Nadi terngangah hebat. Fakih berlalu meninggalkan Nadi yang masih membatang dalam tugu membisu. Bunyi halus dari mesennger membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kiri monitor. Dari seorang bernama, ustad Irsyad.
Bahkan namamu telah terukir di ujung nadiku.
Dengan cinta yang terus bertalu untukmu, Nadi.
Fakih_Irsyad.
Deg, hati Nadi gemuruh. “Apakah ini jawaban dari do’a ku,” pikirnya mendayu. Bahkan Allah punya cara yang sangat istimewa. Ternyata, Fakih dan Irsyad adalah orang yang sama. Banyak tanya yang ingin terlontar dari mulunya. Sejak kapan ia mengenalnya? Darimana Irsyad atau Fakih tau orang tuannya? Apakah Fakih Irsyad teman masa kecilnya? Namun, semua disimpannya rapat dalam derap hati yang tak sabar ingin berucap. Di serambi masjid sana, seorang pria tampan tersenyum untuk Nadi. Wajahnya yang bersih kian berseri di terpa sinar lampu. Lalu, sosok itu menabuh bedug yang bertalu seiring dengan hati mereka yang berpacu. Merambat hingga ke nadi yang berdenyut ingin lebih cepat lagi. Dan cinta ini terus bertalu di ujung nadi.
---------------------------
Cerpen cinta dengan judul ini buah tangan: Cinta Bertalu di Ujung Nadi Jatni Azna, Mahasiswa Ilmu komunikasi UIN Suska Riau.
Comments
Post a Comment