Sudah lama rasanya tidak menerbitkan cerpen seri Islami. Ini kami temukan lagi koleksi baru cerpen Islami, yang dikarang oleh seorang mahasiswa asal Riau yang berjudul dan setting cukup unik. Silakan menikmati cerpennya:
-----------------------------
Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Ada yang sujud di dalamnya penuh harap, doa dan linangan air mata. Hening . sepertinya ada yang lagi mengadu, ada yang lagi curhat. Tapi siapa. Pintu masjid itu indah untuk dilihat siapa saja. Ukiran-ukiran yang menghiasinya tampak sederhana tapi tetap indah. Dan di pintu masjid itu aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku sendiri tidak mengenalinya. Tubuhku gemetar hebat. Gemetar yang aku sendiri sulit untuk mengartikannya. Rasa takut juga bimbang. Entahlah sepertinya ada detak jantung yang menyesali pertemuan itu. Pertemuan dengan laki-laki itu. Laki-laki di pintu masjid. Itulah laki-laki yang sering ku lihat di pintu masjid.
Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan. Begitu juga aku. Aku sering mencari ketenangan di sana. Tapi ketika kunjuangan ku waktu itu, ketenangan yang aku harapkan semuanya barcampur dengan rasa bimbang, menjadi serba salah, sepertinya ketenangan yang aku harapkan memudar setelah melihat laki-laki di pintu masjid itu.
***
“Panggil saja saya ayah, jangan sungkan-sungkan”. Suruh ustaz syarifuddin.
“tapi pantaskah saya memanggil dengan nama itu?”.
“kenapa tidak, bukankah saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri”.
“mungkin butuh waktu pak, untuk memanggil dengan sebutan ayah”.
“sekiranya kamu sudah bersedia memanggil saya dengan sebutan ayah, jangan sungkan-sungkan ya, saya sangat senang, punya anak sebaik kamu”. Senyum itu teduh. Senyum layaknya seorang ayah pada anaknya. Begitulah yang aku rasakan. Senyum itu memberikan aku semangat untuk melangkah. Andai dia tahu kalau aku ingin sekali untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Memintanya menjadi ayahku. Tapi lidah ini terasa kaku ketika kata ayah itu ku ucapkan dihadapannya. Sering aku membayangkan ketika aku ada dihadapanya dan aku dengan kencang memanggilnya ayah. Pernah sekali, ketika di halaman belakang rumah, di kebun tepatnya, ustaz syarifuddin sedang membersih kebun. Mencabut rumput-rumput liar.
Menyirami sayurnya. Niat hati ingin memberitahukan padanya jika aku sudah bersedia memanggilnya ayah. Aku membayangkan ekspresi wajahnya pasti tampak bahagia. Aku menghampirinya. Di hadapannya. Mulutku teramat sulit untuk memanggilnya ayah, masih memanggilnya dengan sebutan pak. Lidahku lagi-lagi kaku. Itu terjadi karena di kebun itu ada bu siti, istrinya ustaz syarifuddin. Aku takut jika ucapanku ini bisa mengundang rasa tak sedap di hati bu siti. Cukuplah sudah selama ini aku memberikan mereka beban untuk merawatku. Mereka menyadari kedatanganku. Mereka menyapaku terlebih dulu. Aku tersipu malu. Sebenarnya bu siti orangnya baik, ramah penuh kasih sayang. Senyumnya teduh. Layaknya seorang ibu pada anaknya.
Angin melintas di kebun itu. Melayang-layang. Membuat daun-daun kecoklatan gugur dari pohon. Musim panas. Ranting-ranting melambai. Sayur tampak menghijau, segar. Kangkung. Bayam dan kacang panjang. Juga ada sayur-sayur yang lain, yang aku sendiri tidak tahu apa nama sayur itu. Tangan mereka penuh dengan kasih sayang, hingga menyulap halaman belakang rumah menjadi perkarangan hijau yang di penuhi dengan sayur dan buah-buahan segar. Mereka pintar berkebun. Biasanya hasil penen mereka jual sendiri di warung mereka.
“beginilah jika tangan kita ramah dengan tanah, kita bisa membuat halaman belakang ini menjadi kebun menghijau”. Ucap bu siti dengan lembut.
Ustaz syarifuddin kini menampungku. Bu siti dan ana juga menyambutku dengan ramah dalam keluarga mereka itu. Mereka mencoba membangkitkan aku dari mimpi buruk ini. Mimpi yang selalu membuat langkahku kaku, melemah dan roboh. Saat ragaku tak mampu mengharungi hidup, keluarga merekalah yang memapah jiwaku, memberikan aku semngat. Hidupku ku lanjutkan di keluarga ini. Tiap-tiap langkah dan angan tetap demi ibu. Demi seyum ibu. Kian hari aku mulai sadar jika ibu kini tak lagi ada disisiku, jauh meninggalkan ku. Ibu tetap ada di hatiku.
Statusku kini sempurna menjadi yatim piatu. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak punya tempat berbagi tangis maupun tawa. Aku tak lagi punya tempat seperti dulu. Tempat ketika ibu selalu ada di sisiku. Alhamdulillah. Kini aku punya tempat lagi untuk belabuh, tempat kedua setelah ibu, tempat yang mampu melindungiku dari terobang ambing dihantam angin. Mereka mengadopsikan aku menjadi anak mereka. Masih tetap kaku untuk memanggilnya ayah, tapi paling tidak aku disini aman, disini aku merasa aku semakin terlindung oleh hujaman hina orang-orang. Saat aku bersama ibu, tetanggaku bilang aku hanyalah beban buat ibu, terlahir dalam keadaan tidak sempurna juga menjadi musibah buat keluargaku, berlanjut dari kepergian ayah, hingga kami tinggal dalam gubuk derita. Aku selalu ingat itu.
“bu, kenapa aku terlahir seperti ini bu?”.
“karena kamu anak ibu”.
“berarti jika aku bukan anak ibu, aku pasti tidak seperti ini. Ya kan bu?”. Ibu menangis. Aku sangat menyesal mengatakan hal itu. Aku selalu ingat hal itu. Saat itu senja datang bersama grimis.
Keluarga ustaz syarifuddin begitu perhatian denganku. Aku dapat merasakan itu. Aku ingin ketidak berdayaanku, tidak menjadi beban untuk keluarga ini. Tampak kasih sayang dari mata bu siti. Wajahnya penuh dengan keramahan, juga senyumnya yang selalu ada di bibirnya. Tidak ada perbedaan antara aku dan ana, anak semata wayang. Memang agak manja, tapi ana juga baik denganku. Dia rela berbagi kasih sayang dari orang tuanya denganku. Walau aku bukan siapa-siapanya, dia tetap baik denganku. Aku selalu melihat kebaikan dari hati ana. aku harus tidak banyak meminta dari keluarga itu. Aku terkadang iri dengan ana, ana punya ayah dan ibu yang baik dengannya, sangat menyayanginya. Semua sangat berbedan denganku. Ana cantik, dia juga pintar. Aku tidak punya ibu juga ayah, aku tidak punya keluarga lagi. Keluarga ini penuh dengan kasih sayang. Inilah salah satu alasan kenapa aku tidak memanggil ustaz syarifuddin dengan sebutan ayah, aku tidak ingin hadirnya aku di dalam keluarga ini membuat masalah.
Terlebih lagi ana, mungkin ia suatu hari nanti pasti merasa tersaingi, keberadaanku di rumah ini. Mungkin ana merasa kasih sayang dari ayah dan ibu mereka berkurang, karena terpaksa berbagi dengan ku. Aku merasa tidak enak. Apalagi aku memanggil ayahnya dengan sebutan ayah juga. Itu bisa mengundang masalah besar. Lebih baik seperti biasa saja.
***
Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Lagi-lagi aku melihat laki-laki itu ada di dalam. Hampir setiap waktu dia ada disana. Agak aneh, ucapku. Apa dia tidak punya keluarga, anak atau rumah. Laki-laki itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Pintu masjid itu tetap terbuka. Maghrib bertandang. Azan berkumandang. Bulan tampak senang, muncul meski belun bercahaya. Matahari menghilang di balik mega. senja datang. Mengingatkan aku akan detik-detik terakhir perpisahan dan kehilangan akan orang yang teramat aku sayang, Ibu. Saat aku harus kehilangan, saat aku harus belajar mengiklaskan, dan saat aku tetap bersabar.
Sebatang kara, aku duduk dicelah senja. Menatap mata itu mata terakhir, kini aku tidak bisa melihat mata itu menangis lagi. Aku tidak punya ayah, dulu ibu sering bilang, ayah sekarang lagi di surga. Umurku waktu itu 10 tahun. Aku tidak tahu apa itu surga, tapi ibu selalu mengatakan jika surga tempat yang aman, menyenangkan dan penuh dengan keindahan, dan ianya khusus tempat orang-orang baik. Ibu selalu berpesan, jika aku harus selalu berbuat baik. Orang yang selalu tunduk pada tuhan. “mungkin seperti ayah”. Ucapku pada ibu. Ibu tersenyum. Aku percaya semua kata-kata ibu tentang ayah yang lagi di surga. Aku menerima keadaanku apa adanya, meski berbeda dengan anak-anak yang lain. Kini ibu tak lagi ada di sisiku. Tak lagi ada untuk melindungiku dari caci dan hina orang-orang. Ibu tetap mekar di hatiku. Tetap ada untuk selamanya. Selalu senyum dan selalu hadir dalam mimpiku. Aku yakin jika ibu sekarang juga sedang duduk di surga melihatku. Mungkin tidak bersama ayah, tapi bersama siapa, mungkin sendiri sepi.
“bu, jika ibu sepi di sana, tataplah aku disini bu, sebutlah namaku, karena aku akan selalu mengirim doa dan tersenyum untuk ibu”.
Kami terpakasa pindah senja itu juga ke rumah ustaz syarifuddin. Ustaz yang amat baik dengan aku dan ibu. Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Laki-laki itu masih terlihat di sudut masjid menampung tangan, ada doa-doa yang tak dapat ku tangkap dengan telingaku. Hanya isak tangis sesekali memecahkan kesunyian. Aku masih ingat dengan kata-kata ustaz syarifuddin untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Aku teramat senang. Kini diriku sudah bersedia. Memanggil ustaz syarifuddin dengan sebuatan ayah. Ayah baruku. Ayah yang dititipkan Allah untuk melindungiku. Kian terasa ragaku telah bertemu dengan jiwaku. Aku merasa hidupku mekar lagi. Setelah kepergian ibu, kini aku di berikan malaikat baru untuk menjagaku. Seandainya ustaz yang ku panggil ayah itu memang tercipta untuk ku dari dulu dari aku masih kecil, pasti aku merasa amat bahagia.
“seandainya ayah kamu masih ada, apakah kamu bersedia menemuinya”.
“ibu bilang ayah di surga”
“jika itu suatu hadiah untukmu?
“pasti aku terima, karena kini akukan sudah punya ayah”.
Pukul 17.00WIB. Ada tamu berkunjung di rumah ini. Laki-laki itu, laki-laki yang selalu ada di muka pintu, pintu masjid. Aku mendengarnya dari ruang tamu, ayah juga ada di sana, menyambutnya dengan ramah, suaranya terdengar jelas dari kamarku. Hanya percakapan saling bertanya kabar. Ruangan tamu masih dipenuhi dengan suara mereka. Bu siti juga ada diruangan itu. Sepertinya mereka sangat akrab, dari cara berbicaranya, cara bertanya dan tawa kecil dari canda mereka. Batinku penasaran akan sesosok laki-laki yang tak sempat ku lihat dari pintu masjid itu. Aku menatapnya dari jauh, dari pintu kamarku tampa sepengetahuan mereka. Wajah itu tampaknya tidak asing lagi oleh mataku, tapi dimana aku pernah bertemu dengan laki-laki itu. Aku sempat kebingungan memikirkan laki-laki itu.
Usai makan malam. Semua berkumpul di ruangan tamu. Laki-laki itu masih bertamu di rumah kami. Aku merasa aneh dengan kunjuang laki-laki itu. Saat matanya melihat mataku. Seakan-akan ia ingin menyapaku. Tapi mulutnya kaku. Wajahnya sudah akrab dari penglihatanku. Sekali lagi aku kebingungan saat aku mencari tahu siapa sebenarnya sosok laki-laki itu. Ada rasa ingin menghampiriku. Dari matanya juga aku melihat laki-laki itu lagi dilanda masalah. Wajahnya bergumpal beribu kesedihan, kesedihan yang di sembunyikan di balik mata itu.
“ baiklah, karena semua sudah berkumpul sekarang di ruangan ini”. Aku merasa ada sesuatu dari ucapan ayah.
“ayah”. Laki-laki itu melirikku.
“ya, ada apa?” tanyanya lembut padaku. Tampak kesenangan dari wajahnya. Akhirnya aku bisa melontarkan kata ayah dari mulutku. Itu keluar tampa sengaja. Bu siti tersenyum. Itu tanda, bu siti juga senang mendengar ucapanku tadi, memanggil suaminya dengan sebutan ayah. Senyumnya masih tetap senyum yang dulu, senyum saat pertama kali dia mengajakku untuk tinggal dalam keluarganya. Ana juga tidak tampak ekspresi yang bertukar dari wajahnya, tidak ada tampak wajah suka. Juga tidak ada wajah dengan marah. Biasa-biasa saja. Semua mata tertuju padaku. Mata ayah. Mata bu siti dan mata laki-laki itu. Kecuali ana yang lagi asik dengan handphone barunya itu.
“apakah kamu ingat kata-kata ayah, sekiranya kamu di berikan ayah oleh Allah, apakah kamu menerimanya?”
“ya, pasti mau, bukankah aku sudah bertemu dengan ayah sekarang”.
“ayah?”
“ya ayah, ayah yang datang mengangkatkan aku dari lembah suram”.
“tapi di sini sudah ada ayah yang sebenarnya lho”
“ya ayah, siapa lagi, ayahkan ayahku, tidak mungkin dia ayahku”. Telunjukku dengan santun mengarahkan ke laki-laki itu. Ayah menganggukkan kepalanya.
“ya”. Aku kebingungan.
“bukan, aku tidak mengenal dia, ibu bilang ayahku lagi di surga mungkin sekarang lagi bersama ibu”. Bantahku
“tidak nak, ini ayahmu”. Potong laki-laki itu.
“bukan kamu bukan ayahku, ayahku di surga”.
“maaf kan ayah nak”. Hening. Yang ada hanya linangan air mata yang mengambang di mata laki-laki itu.
Malam hening membisu. Grimis tetap berkunjung yang tersisa hanyalah angin senja yang menyelinap masuk ke kamarku. Mataku tak dapat menahan amarah yang bertahta dalam mataku. Air mata itu tumpah turun bersama dendam dan amarah. Ada gumpalan benci yang ingin ku lontarkan ke arah laki-laki itu. Aku hanya menggelengkan kepala, mengisyartkan setengah yakin. Jika laki-laki itu benar-benar adalah ayahku. Kiranya dia memang ayahku, biarlah malam ini yang menjawab. Kiranya malam ini menolaknya menjadi ayahku, aku juga ikut menolaknya, jika sebaliknya, mungkin aku butuh waktu lama untuk memulihkan luka lama bersama ibu. Aku berharap malam ini malam terakhir untuk ku melihatnya. Aku bukan membencinya, hanya saja aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi. Aku bukan dendam dengannya hanya saja aku tidak ingin luka itu datang lagi. Aku menangis. Kebahagian baru saja ku bina. Dengan susah payah. dengan linangan air mata, dengan perjuangan ibu. Hingga aku dapat menemui keluarga baru. Dengan seribu payah aku mengharung hidup dalam lautan hina dari orang-orang. Kiranya aku menerimanya sebagai ayahku, apakah dia dapat mengembalikan ibu. “tidakkan”.
Kini harapku untuk memiliki ayah sudah di kabulkan. Tapi bukan dia, bukan dia ayahku, tapi ustaz syarifuddin. Aku tidak berharap punya ayah lagi, cukuplah aku punya satu ayah baru ku ini aku bukan membencinya, kiranya aku menerimanya pasti akan ada tangis ibu yang tumpah di atas sana. Aku bukan dendam dengannya, kiranya aku menerimanya, pasti luka lama itu hadir lagi dalam langkahku.
Langkahnya perlahan-lahan menjauh dari pintu masjid itu. Hilang bersama malam. Entah pergi kemana laki-laki itu. Yang pasti dia tidak ada lagi di hadapanku. Aku bingung. Apakah aku harus menerimanya. Apakah ibu juga mau menerimanya. Aku berlari mengejarnya. Langkahnya terlalu cepat menghilang. Di pintu masjid, terakhir aku melihat dia sujud. Doanya tak lagi dapat ku dengar. Entah untuk berapa lama lagi. Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan Mungkin aku harus pergi sejauh mungkin, sejauh hingga aku tak dapat lagi melihat jejaknya. Ibu kini aku punya ayah baru. Biarlah mimpi menyatukan kita ibu.
Terimakasih untuk sahabatku
*sutiana, siti hadrianti, syarufuddin dan siti zulaikah
-----------------------------
Cerpen Islami satu dari seribu Kumpulan Cerpen kami ini karya: Nurhalim Hafis, mahasiswa semester IVA PBI STAI Bengkalis.
-----------------------------
Pintu Masjid
Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Ada yang sujud di dalamnya penuh harap, doa dan linangan air mata. Hening . sepertinya ada yang lagi mengadu, ada yang lagi curhat. Tapi siapa. Pintu masjid itu indah untuk dilihat siapa saja. Ukiran-ukiran yang menghiasinya tampak sederhana tapi tetap indah. Dan di pintu masjid itu aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku sendiri tidak mengenalinya. Tubuhku gemetar hebat. Gemetar yang aku sendiri sulit untuk mengartikannya. Rasa takut juga bimbang. Entahlah sepertinya ada detak jantung yang menyesali pertemuan itu. Pertemuan dengan laki-laki itu. Laki-laki di pintu masjid. Itulah laki-laki yang sering ku lihat di pintu masjid.
Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan. Begitu juga aku. Aku sering mencari ketenangan di sana. Tapi ketika kunjuangan ku waktu itu, ketenangan yang aku harapkan semuanya barcampur dengan rasa bimbang, menjadi serba salah, sepertinya ketenangan yang aku harapkan memudar setelah melihat laki-laki di pintu masjid itu.
***
“Panggil saja saya ayah, jangan sungkan-sungkan”. Suruh ustaz syarifuddin.
“tapi pantaskah saya memanggil dengan nama itu?”.
“kenapa tidak, bukankah saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri”.
“mungkin butuh waktu pak, untuk memanggil dengan sebutan ayah”.
“sekiranya kamu sudah bersedia memanggil saya dengan sebutan ayah, jangan sungkan-sungkan ya, saya sangat senang, punya anak sebaik kamu”. Senyum itu teduh. Senyum layaknya seorang ayah pada anaknya. Begitulah yang aku rasakan. Senyum itu memberikan aku semangat untuk melangkah. Andai dia tahu kalau aku ingin sekali untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Memintanya menjadi ayahku. Tapi lidah ini terasa kaku ketika kata ayah itu ku ucapkan dihadapannya. Sering aku membayangkan ketika aku ada dihadapanya dan aku dengan kencang memanggilnya ayah. Pernah sekali, ketika di halaman belakang rumah, di kebun tepatnya, ustaz syarifuddin sedang membersih kebun. Mencabut rumput-rumput liar.
Menyirami sayurnya. Niat hati ingin memberitahukan padanya jika aku sudah bersedia memanggilnya ayah. Aku membayangkan ekspresi wajahnya pasti tampak bahagia. Aku menghampirinya. Di hadapannya. Mulutku teramat sulit untuk memanggilnya ayah, masih memanggilnya dengan sebutan pak. Lidahku lagi-lagi kaku. Itu terjadi karena di kebun itu ada bu siti, istrinya ustaz syarifuddin. Aku takut jika ucapanku ini bisa mengundang rasa tak sedap di hati bu siti. Cukuplah sudah selama ini aku memberikan mereka beban untuk merawatku. Mereka menyadari kedatanganku. Mereka menyapaku terlebih dulu. Aku tersipu malu. Sebenarnya bu siti orangnya baik, ramah penuh kasih sayang. Senyumnya teduh. Layaknya seorang ibu pada anaknya.
Angin melintas di kebun itu. Melayang-layang. Membuat daun-daun kecoklatan gugur dari pohon. Musim panas. Ranting-ranting melambai. Sayur tampak menghijau, segar. Kangkung. Bayam dan kacang panjang. Juga ada sayur-sayur yang lain, yang aku sendiri tidak tahu apa nama sayur itu. Tangan mereka penuh dengan kasih sayang, hingga menyulap halaman belakang rumah menjadi perkarangan hijau yang di penuhi dengan sayur dan buah-buahan segar. Mereka pintar berkebun. Biasanya hasil penen mereka jual sendiri di warung mereka.
“beginilah jika tangan kita ramah dengan tanah, kita bisa membuat halaman belakang ini menjadi kebun menghijau”. Ucap bu siti dengan lembut.
Ustaz syarifuddin kini menampungku. Bu siti dan ana juga menyambutku dengan ramah dalam keluarga mereka itu. Mereka mencoba membangkitkan aku dari mimpi buruk ini. Mimpi yang selalu membuat langkahku kaku, melemah dan roboh. Saat ragaku tak mampu mengharungi hidup, keluarga merekalah yang memapah jiwaku, memberikan aku semngat. Hidupku ku lanjutkan di keluarga ini. Tiap-tiap langkah dan angan tetap demi ibu. Demi seyum ibu. Kian hari aku mulai sadar jika ibu kini tak lagi ada disisiku, jauh meninggalkan ku. Ibu tetap ada di hatiku.
Statusku kini sempurna menjadi yatim piatu. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak punya tempat berbagi tangis maupun tawa. Aku tak lagi punya tempat seperti dulu. Tempat ketika ibu selalu ada di sisiku. Alhamdulillah. Kini aku punya tempat lagi untuk belabuh, tempat kedua setelah ibu, tempat yang mampu melindungiku dari terobang ambing dihantam angin. Mereka mengadopsikan aku menjadi anak mereka. Masih tetap kaku untuk memanggilnya ayah, tapi paling tidak aku disini aman, disini aku merasa aku semakin terlindung oleh hujaman hina orang-orang. Saat aku bersama ibu, tetanggaku bilang aku hanyalah beban buat ibu, terlahir dalam keadaan tidak sempurna juga menjadi musibah buat keluargaku, berlanjut dari kepergian ayah, hingga kami tinggal dalam gubuk derita. Aku selalu ingat itu.
“bu, kenapa aku terlahir seperti ini bu?”.
“karena kamu anak ibu”.
“berarti jika aku bukan anak ibu, aku pasti tidak seperti ini. Ya kan bu?”. Ibu menangis. Aku sangat menyesal mengatakan hal itu. Aku selalu ingat hal itu. Saat itu senja datang bersama grimis.
Keluarga ustaz syarifuddin begitu perhatian denganku. Aku dapat merasakan itu. Aku ingin ketidak berdayaanku, tidak menjadi beban untuk keluarga ini. Tampak kasih sayang dari mata bu siti. Wajahnya penuh dengan keramahan, juga senyumnya yang selalu ada di bibirnya. Tidak ada perbedaan antara aku dan ana, anak semata wayang. Memang agak manja, tapi ana juga baik denganku. Dia rela berbagi kasih sayang dari orang tuanya denganku. Walau aku bukan siapa-siapanya, dia tetap baik denganku. Aku selalu melihat kebaikan dari hati ana. aku harus tidak banyak meminta dari keluarga itu. Aku terkadang iri dengan ana, ana punya ayah dan ibu yang baik dengannya, sangat menyayanginya. Semua sangat berbedan denganku. Ana cantik, dia juga pintar. Aku tidak punya ibu juga ayah, aku tidak punya keluarga lagi. Keluarga ini penuh dengan kasih sayang. Inilah salah satu alasan kenapa aku tidak memanggil ustaz syarifuddin dengan sebutan ayah, aku tidak ingin hadirnya aku di dalam keluarga ini membuat masalah.
Terlebih lagi ana, mungkin ia suatu hari nanti pasti merasa tersaingi, keberadaanku di rumah ini. Mungkin ana merasa kasih sayang dari ayah dan ibu mereka berkurang, karena terpaksa berbagi dengan ku. Aku merasa tidak enak. Apalagi aku memanggil ayahnya dengan sebutan ayah juga. Itu bisa mengundang masalah besar. Lebih baik seperti biasa saja.
***
Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Lagi-lagi aku melihat laki-laki itu ada di dalam. Hampir setiap waktu dia ada disana. Agak aneh, ucapku. Apa dia tidak punya keluarga, anak atau rumah. Laki-laki itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Pintu masjid itu tetap terbuka. Maghrib bertandang. Azan berkumandang. Bulan tampak senang, muncul meski belun bercahaya. Matahari menghilang di balik mega. senja datang. Mengingatkan aku akan detik-detik terakhir perpisahan dan kehilangan akan orang yang teramat aku sayang, Ibu. Saat aku harus kehilangan, saat aku harus belajar mengiklaskan, dan saat aku tetap bersabar.
Sebatang kara, aku duduk dicelah senja. Menatap mata itu mata terakhir, kini aku tidak bisa melihat mata itu menangis lagi. Aku tidak punya ayah, dulu ibu sering bilang, ayah sekarang lagi di surga. Umurku waktu itu 10 tahun. Aku tidak tahu apa itu surga, tapi ibu selalu mengatakan jika surga tempat yang aman, menyenangkan dan penuh dengan keindahan, dan ianya khusus tempat orang-orang baik. Ibu selalu berpesan, jika aku harus selalu berbuat baik. Orang yang selalu tunduk pada tuhan. “mungkin seperti ayah”. Ucapku pada ibu. Ibu tersenyum. Aku percaya semua kata-kata ibu tentang ayah yang lagi di surga. Aku menerima keadaanku apa adanya, meski berbeda dengan anak-anak yang lain. Kini ibu tak lagi ada di sisiku. Tak lagi ada untuk melindungiku dari caci dan hina orang-orang. Ibu tetap mekar di hatiku. Tetap ada untuk selamanya. Selalu senyum dan selalu hadir dalam mimpiku. Aku yakin jika ibu sekarang juga sedang duduk di surga melihatku. Mungkin tidak bersama ayah, tapi bersama siapa, mungkin sendiri sepi.
“bu, jika ibu sepi di sana, tataplah aku disini bu, sebutlah namaku, karena aku akan selalu mengirim doa dan tersenyum untuk ibu”.
Kami terpakasa pindah senja itu juga ke rumah ustaz syarifuddin. Ustaz yang amat baik dengan aku dan ibu. Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Laki-laki itu masih terlihat di sudut masjid menampung tangan, ada doa-doa yang tak dapat ku tangkap dengan telingaku. Hanya isak tangis sesekali memecahkan kesunyian. Aku masih ingat dengan kata-kata ustaz syarifuddin untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Aku teramat senang. Kini diriku sudah bersedia. Memanggil ustaz syarifuddin dengan sebuatan ayah. Ayah baruku. Ayah yang dititipkan Allah untuk melindungiku. Kian terasa ragaku telah bertemu dengan jiwaku. Aku merasa hidupku mekar lagi. Setelah kepergian ibu, kini aku di berikan malaikat baru untuk menjagaku. Seandainya ustaz yang ku panggil ayah itu memang tercipta untuk ku dari dulu dari aku masih kecil, pasti aku merasa amat bahagia.
“seandainya ayah kamu masih ada, apakah kamu bersedia menemuinya”.
“ibu bilang ayah di surga”
“jika itu suatu hadiah untukmu?
“pasti aku terima, karena kini akukan sudah punya ayah”.
Pukul 17.00WIB. Ada tamu berkunjung di rumah ini. Laki-laki itu, laki-laki yang selalu ada di muka pintu, pintu masjid. Aku mendengarnya dari ruang tamu, ayah juga ada di sana, menyambutnya dengan ramah, suaranya terdengar jelas dari kamarku. Hanya percakapan saling bertanya kabar. Ruangan tamu masih dipenuhi dengan suara mereka. Bu siti juga ada diruangan itu. Sepertinya mereka sangat akrab, dari cara berbicaranya, cara bertanya dan tawa kecil dari canda mereka. Batinku penasaran akan sesosok laki-laki yang tak sempat ku lihat dari pintu masjid itu. Aku menatapnya dari jauh, dari pintu kamarku tampa sepengetahuan mereka. Wajah itu tampaknya tidak asing lagi oleh mataku, tapi dimana aku pernah bertemu dengan laki-laki itu. Aku sempat kebingungan memikirkan laki-laki itu.
Usai makan malam. Semua berkumpul di ruangan tamu. Laki-laki itu masih bertamu di rumah kami. Aku merasa aneh dengan kunjuang laki-laki itu. Saat matanya melihat mataku. Seakan-akan ia ingin menyapaku. Tapi mulutnya kaku. Wajahnya sudah akrab dari penglihatanku. Sekali lagi aku kebingungan saat aku mencari tahu siapa sebenarnya sosok laki-laki itu. Ada rasa ingin menghampiriku. Dari matanya juga aku melihat laki-laki itu lagi dilanda masalah. Wajahnya bergumpal beribu kesedihan, kesedihan yang di sembunyikan di balik mata itu.
“ baiklah, karena semua sudah berkumpul sekarang di ruangan ini”. Aku merasa ada sesuatu dari ucapan ayah.
“ayah”. Laki-laki itu melirikku.
“ya, ada apa?” tanyanya lembut padaku. Tampak kesenangan dari wajahnya. Akhirnya aku bisa melontarkan kata ayah dari mulutku. Itu keluar tampa sengaja. Bu siti tersenyum. Itu tanda, bu siti juga senang mendengar ucapanku tadi, memanggil suaminya dengan sebutan ayah. Senyumnya masih tetap senyum yang dulu, senyum saat pertama kali dia mengajakku untuk tinggal dalam keluarganya. Ana juga tidak tampak ekspresi yang bertukar dari wajahnya, tidak ada tampak wajah suka. Juga tidak ada wajah dengan marah. Biasa-biasa saja. Semua mata tertuju padaku. Mata ayah. Mata bu siti dan mata laki-laki itu. Kecuali ana yang lagi asik dengan handphone barunya itu.
“apakah kamu ingat kata-kata ayah, sekiranya kamu di berikan ayah oleh Allah, apakah kamu menerimanya?”
“ya, pasti mau, bukankah aku sudah bertemu dengan ayah sekarang”.
“ayah?”
“ya ayah, ayah yang datang mengangkatkan aku dari lembah suram”.
“tapi di sini sudah ada ayah yang sebenarnya lho”
“ya ayah, siapa lagi, ayahkan ayahku, tidak mungkin dia ayahku”. Telunjukku dengan santun mengarahkan ke laki-laki itu. Ayah menganggukkan kepalanya.
“ya”. Aku kebingungan.
“bukan, aku tidak mengenal dia, ibu bilang ayahku lagi di surga mungkin sekarang lagi bersama ibu”. Bantahku
“tidak nak, ini ayahmu”. Potong laki-laki itu.
“bukan kamu bukan ayahku, ayahku di surga”.
“maaf kan ayah nak”. Hening. Yang ada hanya linangan air mata yang mengambang di mata laki-laki itu.
Malam hening membisu. Grimis tetap berkunjung yang tersisa hanyalah angin senja yang menyelinap masuk ke kamarku. Mataku tak dapat menahan amarah yang bertahta dalam mataku. Air mata itu tumpah turun bersama dendam dan amarah. Ada gumpalan benci yang ingin ku lontarkan ke arah laki-laki itu. Aku hanya menggelengkan kepala, mengisyartkan setengah yakin. Jika laki-laki itu benar-benar adalah ayahku. Kiranya dia memang ayahku, biarlah malam ini yang menjawab. Kiranya malam ini menolaknya menjadi ayahku, aku juga ikut menolaknya, jika sebaliknya, mungkin aku butuh waktu lama untuk memulihkan luka lama bersama ibu. Aku berharap malam ini malam terakhir untuk ku melihatnya. Aku bukan membencinya, hanya saja aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi. Aku bukan dendam dengannya hanya saja aku tidak ingin luka itu datang lagi. Aku menangis. Kebahagian baru saja ku bina. Dengan susah payah. dengan linangan air mata, dengan perjuangan ibu. Hingga aku dapat menemui keluarga baru. Dengan seribu payah aku mengharung hidup dalam lautan hina dari orang-orang. Kiranya aku menerimanya sebagai ayahku, apakah dia dapat mengembalikan ibu. “tidakkan”.
Kini harapku untuk memiliki ayah sudah di kabulkan. Tapi bukan dia, bukan dia ayahku, tapi ustaz syarifuddin. Aku tidak berharap punya ayah lagi, cukuplah aku punya satu ayah baru ku ini aku bukan membencinya, kiranya aku menerimanya pasti akan ada tangis ibu yang tumpah di atas sana. Aku bukan dendam dengannya, kiranya aku menerimanya, pasti luka lama itu hadir lagi dalam langkahku.
Langkahnya perlahan-lahan menjauh dari pintu masjid itu. Hilang bersama malam. Entah pergi kemana laki-laki itu. Yang pasti dia tidak ada lagi di hadapanku. Aku bingung. Apakah aku harus menerimanya. Apakah ibu juga mau menerimanya. Aku berlari mengejarnya. Langkahnya terlalu cepat menghilang. Di pintu masjid, terakhir aku melihat dia sujud. Doanya tak lagi dapat ku dengar. Entah untuk berapa lama lagi. Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan Mungkin aku harus pergi sejauh mungkin, sejauh hingga aku tak dapat lagi melihat jejaknya. Ibu kini aku punya ayah baru. Biarlah mimpi menyatukan kita ibu.
Terimakasih untuk sahabatku
*sutiana, siti hadrianti, syarufuddin dan siti zulaikah
-----------------------------
Cerpen Islami satu dari seribu Kumpulan Cerpen kami ini karya: Nurhalim Hafis, mahasiswa semester IVA PBI STAI Bengkalis.
Assalammu'alaikum..
ReplyDeleteMaaf, kami dari dari gelanggang karya, suatu kelompok penulis muda di Facebook, memakai karya cerpen Pintu Masjid ini untuk bahan bedah cerpen di Group kami.. Mohon maaf kalau seandainya tidak berkenan, tapi tujuannya kami ingin mengasah kemampuan menulis anggota kelompok dengan memakai perbandingan hasil karya dari penulis lain di luar group.. Mudah-mudahan berkenan..
Jazakallah...
NB: Group kami bisa di lihat pada link http://www.facebook.com/groups/gelanggangkarya/365243026827412/
@JANRA: Silakan Pak, asal sebutkan aja sumbernya... thanks
ReplyDelete