Cerpen Bahasa Indonesia - Pada dasarnya di StudentMagz sudah sangat banyak tersedia kumpulan cerpen, yang komposisinya 95 persen adalah Cerpen Bahasa Indonesia, tergantung pembaca yang budiman sekalian bagaimana cara mengeksplorasinya. Seluruh cerpen Bahasa Indonesia ini merupakan yang terbaik, karena sudah melalui tahapan-tahapan seleksi oleh tim kami. Bahkan ada beberapa cerpen disini sudah pernah terbit di media-media masa terkemuka di tanah air, nah... inilah salah satu cerpen Bahasa Indonesia terbaik itu. Silakan disimak...
Gunto, ujung Agusutus 1987…
Bekerja jauh di pulau seberang tentu membesit kerinduan pada keluarga di kampung tersayang. Menoreh rezeki sebagai pekerja kasar pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengelolaan minyak mentah. Dalam sebulan hanya seminggu saja waktu untuk bercengkerama kembali bersama keluarga. Seperti hari ini, terlihat Semat di ujung dermaga. Hampir tiga pekan lelaki beranak tiga itu tidak berpijak di kampungnya sendiri. Kepulangannya ke kampung bukan karena rindu dengan anak bininya, tapi hari itu ia hanya sekedar singgah untuk mengantarkan barang perusahaan menggunakan speedboat ke pulau kecil itu.
“Mat, ada barang baru? Radio yang kemarin tu sudah rusak pulak,” teriak seseorang dari pangkal pelabuhan kampung, sembari melangkahi satu per satu anak tangga menyambut kedatangan Semat pagi itu.
“Tak sempat saya bawa Pak Cik Atan. Saya hanya singgah sekejap saja hari ni. Sambil menunggu jemputan barang perusahaan untuk kampung seberang sana,” jawab Semat santai.
“Macam tu. Pak Cik kira engkau bawa kapal tu untuk Pak Cik tadi,” canda Pak Cik Atan sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah speedboat yang dinaiki Semat tadi, memecahkan keheningan pagi. Memang setiap kali Semat kembali ke kampung, kadang-kadang ia membawa barang-barang elektronik baru untuk dijual pada orang kampung, terutama pada Pak Cik Atan sebagai langganannya.
Kedua orang itu melepas tawa dan berpisah di beranda pelabuhan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Suasana kampung sungguh memikat hati. Walau masih banyak anak-anak kecil bertelanjang dada seraya bermain bersama rekan-rekannya mengitari tepian pantai. Kampung itu, kampung Gunto yang tidak beranjak dari kemiskinan sejak puluhan tahun lamanya.
Di perjalanan menuju rumah, semat bertemu Ara dan tiga anaknya, Ilman, Ijal, dan Idris. Ketiganya berlarian menyambut ayahnya karena rasa rindu di dada seakan hendak meledak untuk meluapkan segala lahar kemesraan. Ara yang mengenakan kebaya hijau dipadu selendang putih dan sandal jepit yang mulai usang, hanya menyambut suaminya dengan memasang senyum tipis menahan rindu di hati.
“Cepat Abang pulang?” tanya Ara heran.
Dengan nada datar Semat berkata, “singgah saja.”
Keduanya terdiam sejenak. Sedang anaknya kembali bermain di tengah lapangan samping pelabuhan.
Semat dan Ara telah menikah sebelas tahun silam. Walau hari-harinya dipisah oleh jarak, namun kasih sayang yang mereka agihkan akrab dan harmoni sepanjang waktu. Cinta.
***
Di kedai kopi Wak Sudin, Semat biasanya akan sering bertanya tentang banyak hal. Seakan kedai beratap rumbia itu menjadi pusat informasi orang-orang kampung. Maklumlah, di kedai ini orang tua-tua kampung berkumpul, terutama para lelaki, sekedar bual-bual kosong. Kedai yang sederhana. Tempat angin bermadu kasih, hingga setiap orang yang duduk terlena.
“Mat, dah lama tak nampak? Baru pulang kerja?” tanya Sapri sekedar berbasa-basi menyambut kehadiran teman dekatnya yang baru saja turun dari dermaga.
“Macam biasalah kawan. Berkubang dengan kerak-kerak minyak. Tak terlalulah yang didapat,” tutur Semat dengan suara baritonnya.
“Mau minum apa? Sudah lama kau tak minum kopi Wak kau ni.” Celah Wak Sudin dari meja kasirnya, memutuskan perbincangan awal kedua sahabat tadi.
“Yang biasa sajalah Wak. Tapi jangan terlalu manis ya.”
Setelah kopi dihidangkan, semua sibuk dengan menyeruput aroma kopi pekat khas orang kampung ini. Hidangan hangat itu tak dibiarkan ia mendingin. Dengan lahap mereka saling menyeduh. Sapri pun kembali membuka dialog.
“Ei Mat, kau dah dapat kabar?”
“Kabar apa tu?”
“Kabar yang memilukan, Mat. Tapi kau harus jaga emosi, semua orang kampung sudah tahu tentang hal ini.”
“Apa tuh? Jangan buat aku takutlah. Cakap! Cakap! Cakap!” dengan tak sabarnya semat menceracau.
“begini Mat, sepekan terakhir ni perusahaan yang selalu mengganggu kampung kita ini kembali membuat gugatan atas hak tanah dari kampung kita ini. Penghulu kita pun tak dapat nak berbuat apa. Surat tanah kampung kita pun tak ada. Yang kita tahu tanah ini milik nenek moyang kita dulu. Nak berunding pun kita tak punya bukti kuat tentang administrasi tanah ini.”
Seakan ingin menghempaskan badan, Semat terdiam. Tangannya menggigil seiring wajahnya yang merah padam. Gerahamnya beradu bunyi pertanda emosi tersimpan dalam. Meluapkan isi hati pada hamparan tanah yang ia tatap di celah jendela kedai Wak Sudin merupakan tanah sengketa yang tak berkesudahan. Namun emosi ini tak dapat diaplikasi oleh tubuh luarnya. Hanya berkecamuk dalam dada kecilnya saja. Suasana mulai hening di tempat tongkrongan para peminum kopi kelas ringan itu.
“Habislah kita, Mat.”
Kata penutup dari Sapri dengan sebatang rokok yang sudah memendek di celah jarinya, menutup perbincangan panas mereka berdua pagi itu. Semat menggelora. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya bersatu padu untuk memikirkan nasib bininya, anaknya, orang kampungnya.
“Penghulu pun tak dapat berbuat apa-apa lagi, Mat.” Celah Yusuf pula yang sedari tadi mengikuti alur dialog mereka berdua. Hening.
***
Lesap. Sejak hari itu, Semat tak lagi menampakkan batang hidungnya. Ia kembali ke kampung seberang dengan dibekali setungkah masalah besar yang mengancam orang kampung, terutama anak bininya. Ia lesap begitu saja meninggalkan keluarga. Begitu juga dengan kampung Gunto. Balai adat, mesjid di tengah kampung, tak lagi ada yang mengurusi. Semua pupus dimakan alam. Semak belukar membalut seluruh isi kampung. Flora dan fauna hilang bersama populasinya. Sedang kemegahan perusahaan minyak milik orang asing itu berdiri kokoh, namun hina di mata orang Kampung Gunto.
Setelah beberapa pekan dari kepergian Semat dari kampungnya lalu, Semat kini kembali dengan speedboat tumpangannya. Dari tengah laut ia berharap kampungnya masih ada canda tawa, dan anak bininya pun masih bisa bercengkerama dengan leluasanya. Namun minda itu hampa. Ketika sudah mendekati bibir pantai, terlihat rumah-rumah mengapung di asinnya air laut. Rumah panggung yang tinggi berada di atas permukaan pantai. Terlihat tiga orang anak sedang asyik berenang di bawahnya. Itulah mereka, Ilman, Ijal, dan Idris, anak-anak Semat yang kini terkikis dari kampungnya sendiri. Dalam uraian air mata, semat kembali berpeluk kasih dengan keluarga tercinta. Sedangkan kampungnya, kini mengapung bersama air mata rakyat yang tak terbendung.***
Cerpen Bahasa Indonesia ini adalah karya Irdas Yan yg masuk dalam kumpulan cerpen Bahasa Indonesia kami pada 2011 ini.
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Kebudayaan Islam
UIN Suska Riau
Pernah Aktif di FLP Pekanbaru
Kampung Terapung
Gunto, ujung Agusutus 1987…
Bekerja jauh di pulau seberang tentu membesit kerinduan pada keluarga di kampung tersayang. Menoreh rezeki sebagai pekerja kasar pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengelolaan minyak mentah. Dalam sebulan hanya seminggu saja waktu untuk bercengkerama kembali bersama keluarga. Seperti hari ini, terlihat Semat di ujung dermaga. Hampir tiga pekan lelaki beranak tiga itu tidak berpijak di kampungnya sendiri. Kepulangannya ke kampung bukan karena rindu dengan anak bininya, tapi hari itu ia hanya sekedar singgah untuk mengantarkan barang perusahaan menggunakan speedboat ke pulau kecil itu.
“Mat, ada barang baru? Radio yang kemarin tu sudah rusak pulak,” teriak seseorang dari pangkal pelabuhan kampung, sembari melangkahi satu per satu anak tangga menyambut kedatangan Semat pagi itu.
“Tak sempat saya bawa Pak Cik Atan. Saya hanya singgah sekejap saja hari ni. Sambil menunggu jemputan barang perusahaan untuk kampung seberang sana,” jawab Semat santai.
“Macam tu. Pak Cik kira engkau bawa kapal tu untuk Pak Cik tadi,” canda Pak Cik Atan sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah speedboat yang dinaiki Semat tadi, memecahkan keheningan pagi. Memang setiap kali Semat kembali ke kampung, kadang-kadang ia membawa barang-barang elektronik baru untuk dijual pada orang kampung, terutama pada Pak Cik Atan sebagai langganannya.
Kedua orang itu melepas tawa dan berpisah di beranda pelabuhan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Suasana kampung sungguh memikat hati. Walau masih banyak anak-anak kecil bertelanjang dada seraya bermain bersama rekan-rekannya mengitari tepian pantai. Kampung itu, kampung Gunto yang tidak beranjak dari kemiskinan sejak puluhan tahun lamanya.
Di perjalanan menuju rumah, semat bertemu Ara dan tiga anaknya, Ilman, Ijal, dan Idris. Ketiganya berlarian menyambut ayahnya karena rasa rindu di dada seakan hendak meledak untuk meluapkan segala lahar kemesraan. Ara yang mengenakan kebaya hijau dipadu selendang putih dan sandal jepit yang mulai usang, hanya menyambut suaminya dengan memasang senyum tipis menahan rindu di hati.
“Cepat Abang pulang?” tanya Ara heran.
Dengan nada datar Semat berkata, “singgah saja.”
Keduanya terdiam sejenak. Sedang anaknya kembali bermain di tengah lapangan samping pelabuhan.
Semat dan Ara telah menikah sebelas tahun silam. Walau hari-harinya dipisah oleh jarak, namun kasih sayang yang mereka agihkan akrab dan harmoni sepanjang waktu. Cinta.
***
Di kedai kopi Wak Sudin, Semat biasanya akan sering bertanya tentang banyak hal. Seakan kedai beratap rumbia itu menjadi pusat informasi orang-orang kampung. Maklumlah, di kedai ini orang tua-tua kampung berkumpul, terutama para lelaki, sekedar bual-bual kosong. Kedai yang sederhana. Tempat angin bermadu kasih, hingga setiap orang yang duduk terlena.
“Mat, dah lama tak nampak? Baru pulang kerja?” tanya Sapri sekedar berbasa-basi menyambut kehadiran teman dekatnya yang baru saja turun dari dermaga.
“Macam biasalah kawan. Berkubang dengan kerak-kerak minyak. Tak terlalulah yang didapat,” tutur Semat dengan suara baritonnya.
“Mau minum apa? Sudah lama kau tak minum kopi Wak kau ni.” Celah Wak Sudin dari meja kasirnya, memutuskan perbincangan awal kedua sahabat tadi.
“Yang biasa sajalah Wak. Tapi jangan terlalu manis ya.”
Setelah kopi dihidangkan, semua sibuk dengan menyeruput aroma kopi pekat khas orang kampung ini. Hidangan hangat itu tak dibiarkan ia mendingin. Dengan lahap mereka saling menyeduh. Sapri pun kembali membuka dialog.
“Ei Mat, kau dah dapat kabar?”
“Kabar apa tu?”
“Kabar yang memilukan, Mat. Tapi kau harus jaga emosi, semua orang kampung sudah tahu tentang hal ini.”
“Apa tuh? Jangan buat aku takutlah. Cakap! Cakap! Cakap!” dengan tak sabarnya semat menceracau.
“begini Mat, sepekan terakhir ni perusahaan yang selalu mengganggu kampung kita ini kembali membuat gugatan atas hak tanah dari kampung kita ini. Penghulu kita pun tak dapat nak berbuat apa. Surat tanah kampung kita pun tak ada. Yang kita tahu tanah ini milik nenek moyang kita dulu. Nak berunding pun kita tak punya bukti kuat tentang administrasi tanah ini.”
Seakan ingin menghempaskan badan, Semat terdiam. Tangannya menggigil seiring wajahnya yang merah padam. Gerahamnya beradu bunyi pertanda emosi tersimpan dalam. Meluapkan isi hati pada hamparan tanah yang ia tatap di celah jendela kedai Wak Sudin merupakan tanah sengketa yang tak berkesudahan. Namun emosi ini tak dapat diaplikasi oleh tubuh luarnya. Hanya berkecamuk dalam dada kecilnya saja. Suasana mulai hening di tempat tongkrongan para peminum kopi kelas ringan itu.
“Habislah kita, Mat.”
Kata penutup dari Sapri dengan sebatang rokok yang sudah memendek di celah jarinya, menutup perbincangan panas mereka berdua pagi itu. Semat menggelora. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya bersatu padu untuk memikirkan nasib bininya, anaknya, orang kampungnya.
“Penghulu pun tak dapat berbuat apa-apa lagi, Mat.” Celah Yusuf pula yang sedari tadi mengikuti alur dialog mereka berdua. Hening.
***
Lesap. Sejak hari itu, Semat tak lagi menampakkan batang hidungnya. Ia kembali ke kampung seberang dengan dibekali setungkah masalah besar yang mengancam orang kampung, terutama anak bininya. Ia lesap begitu saja meninggalkan keluarga. Begitu juga dengan kampung Gunto. Balai adat, mesjid di tengah kampung, tak lagi ada yang mengurusi. Semua pupus dimakan alam. Semak belukar membalut seluruh isi kampung. Flora dan fauna hilang bersama populasinya. Sedang kemegahan perusahaan minyak milik orang asing itu berdiri kokoh, namun hina di mata orang Kampung Gunto.
Setelah beberapa pekan dari kepergian Semat dari kampungnya lalu, Semat kini kembali dengan speedboat tumpangannya. Dari tengah laut ia berharap kampungnya masih ada canda tawa, dan anak bininya pun masih bisa bercengkerama dengan leluasanya. Namun minda itu hampa. Ketika sudah mendekati bibir pantai, terlihat rumah-rumah mengapung di asinnya air laut. Rumah panggung yang tinggi berada di atas permukaan pantai. Terlihat tiga orang anak sedang asyik berenang di bawahnya. Itulah mereka, Ilman, Ijal, dan Idris, anak-anak Semat yang kini terkikis dari kampungnya sendiri. Dalam uraian air mata, semat kembali berpeluk kasih dengan keluarga tercinta. Sedangkan kampungnya, kini mengapung bersama air mata rakyat yang tak terbendung.***
Cerpen Bahasa Indonesia ini adalah karya Irdas Yan yg masuk dalam kumpulan cerpen Bahasa Indonesia kami pada 2011 ini.
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Kebudayaan Islam
UIN Suska Riau
Pernah Aktif di FLP Pekanbaru
knapa bisa di sini cerpen saia???
ReplyDeletecerpen nya bagus-bagus dech... :)
ReplyDelete