Skip to main content

Mengajar Sebagai Ibadah

Dalam sebuah Hadis Nabi disebutkan, “Dunia ini dan apa-apa yang berada di dalamnya terlaknat, kecuali, orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang menuntut ilmu.” Tidak pelak, berdasarkan banyak nash Alqur’an dan Hadis Nabi, menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah sebuah kewajiban ibadah. Ibadah yang melahirkan pahala (reward) kemuliaan di dunia dan di akhirat. Dari kata “guru” saja, seorang pendidik sudah mendapatkan kemuliaan. Guru adalah kepanjangan kata digugu dan ditiru. Digugu artinya diikuti. Ditiru artinya menjadi contoh tauladan. Seseorang tidak akan ditauladani kalau bukan seseorang yang mulia kedudukannya.

Bukan saja menghasilkan generasi penerus yang siap menggantikan peran dan kerja para pendahulunya, seorang guru juga adalah pilar utama bagi tegak dan utuhnya bumi. Simak perkataan Ulama tentang orang-orang yang berilmu ini: mautul ‘aalim, mautul ‘aalam: kematian seorang berilmu adalah kematian alam semesta. Coba bayangkan, jika sebuah usaha diurus oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang usaha yang diurusnya. Jelas, bangkrut. Nabi juga bilang kok, “Jika sebuah urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka nantikanlah kehancurannya.” Apalagi mengurus sebuah negara? Indonesia pula!

Jelasnya, profesi pendidik adalah profesi yang tiada tara kemuliaan dan keagungannya. Nabi juga pernah bilang, “Sungguh, saya diutus sebagai seorang pendidik.” Alhasil, jika seorang pendidik menanamkan keyakinan di dadanya, bahwa profesi yang diembannya kini adalah sebuah profesi ibadah yang agung, sebuah kewajiban yang tidak kalah kedudukannya dengan rukun-rukun Islam yang lain, mengajar akan menjadi sebuah kenikmatan seperti halnya ibadah salat. Salat yang dikerjakan tanpa keyakinan akan pahala (dunia-akhirat), akan terasa sangat melelahkan. Kesimpulannya, mengajar adalah urusan ruhaniah yang penilaiannya harus secara ruhaniah pula. Jika ini tidak dipahami, maka mengajar akan menjadi sebuah beban yang memberatkan. Terutama apabila dihitung dengan berapa rupiah perjam mengajar.

Itu keyakinan pertama yang harus ada di dalam dada setiap pendidik. Keyakinan kedua, mengajar dengan ikhlas dan sungguh-sungguh anak-anak bangsa yang note bene adalah hamba-hamba Allah, maka Allah Swt. akan menjamin kesuksesan dan kemuliaan anak-anak sang pendidik itu sendiri. Gak percaya? Penulis, yang berlatar belakang pendidikan pesantren, sering memperhatikan anak-anak para Kiyai, yang pada masa remajanya terkesan bandel, tetapi, bila tiba saatnya sang anak Kiyai tersebut mampu menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai seorang Kiyai muda.

Akhirnya, pada saat penulis membuka kitab Ta‘liimul Muta‘allim, sebuah kitab kuning berisi tentang adab menuntut dan mengajarkan ilmu, di dalamnya juga dijelaskan dan diceritakan hal yang serupa. Disebabkan kesibukan sang pendidik terhadap anak-anak orang lain, Allah Swt. berkenan memberikan “sedikit” ilmu-Nya dan kemampuan yang tak terduga kepada anak sang pendidik tersebut. Di kalangan pesantren, ilmu tersebut dinamakan ilmu ladunni, artinya ilmu yang datang dari sisi-Ku (Allah).

Oleh karena itu, penulis yang juga seorang pendidik, menyeru dan menghimbau kepada teman-teman seprofesi, marilah mengajar dan mendidik dengan niat ibadah. Anggaplah anak didik kita adalah anak kita sendiri. Semoga kekurangan materi dari lembaga di mana kita mengajar akan diganti oleh Allah Swt. dari jalan yang lain. Sungguh Allah Swt. adalah Zat yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa lagi Maha Kaya.

Comments