Skip to main content

Tragedi Seorang Calon Abdi Negara

Tragedi Seorang Calon Abdi Negara

Terdengar bisikan lirih dan ayat-ayat doa yang keluar dari bibir seorang ibu yang semenjak kemarin malam larut dalam kecemasan dan kekhawatiran yang begitu mendalam. Tak henti-hentinya dia memanjatkan kalimat-kalimat permohonan kepada pencipta alam ini atas apa yang terjadi pada diriku.

“ Tolong Suster, cairan infus anak saya sudah hampir habis nih !” kata Ibu penuh kecemasan.
Dengan kesabaran suster tersebut menggantikan kantong cairan infus itu dengan yang baru. Memang Suster Rama termasuk salah satu suster yang paling ramah di antara suster-suster yang lainnya.

“Nah Bu, sudah saya ganti ya, nanti kalau ada yang perlu saya bantu, Ibu jangan sungkan-sungkan memanggil saya kembali ya, “ kata Suster Rama dengan tersenyum.
“Terima kasih, Sus,“ sahut Ibu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, dengan penuh penantian akhirnya aku diizinkan oleh dokter untuk pulang dengan saran agar supaya aku rutin menjalankan rawat jalan setiap bulannya. Memang penyakit yang aku alami termasuk penyakit kritis dalam dunia kedokteran yakni penyakit tumor jinak otak. Tak henti-hentinya Ibu selalu mengingatkan dalam keseharianku untuk rajin konsumsi obat-obatan dari resep yang telah diberikan oleh dokter.

Dengan kesabaran aku tak pernah absen meminumnya demi kesembuhan dari penyakitku itu. Hanyalah obat itu yang dapat mempertahankan kesehatanku dan seakan-akan seperti dopping sebagai pencegah agar penyakit tersebut tidak semakin parah. Miris memang, seperti kecanduan saja akan obat-obatan tersebut. Tapi hanya itulah cara yang terus diupayakan supaya aku bisa menjalankan aktifitas hidupku seperti biasa. Walaupun demikian adanya, namun dalam hal pendidikan, aku berhasil menyelesaikannya dengan baik dan tidak mengecewakan.

“Hamid, ini loh koper yang kau butuhkan nanti ! “ Ibu memanggil dari ruang gudang belakang rumah.

Ooops, terperanjat Hamid dari lamunan di masa pahitnya itu , yang membuatnya teringat oleh masa kecilnya waktu itu. Sejak kecil dia memang ingin bercita-cita sebagai seorang yang berguna bagi negara. Dan akhirnya cita-cita itu semakin dekat saja rasanya untuk dicapai olehnya. Setelah sekian lama perjalanan hidupnya dalam hal pendidikan, waktu demi waktu telah beranjak naik tingkat demi tingkat.

“Sekarang waktunya aku harus mempersiapkan apa saja yang akan dibutuhkan sewaktu aku tinggal di asrama nanti,” pikir Hamid sambil mengepak-ngepak barang-barang keperluannya.
Besok adalah hari pertama Hamid meninggalkan kampung halamannya yang letaknya lumayan sangat jauh dari asrama pendidikan calon abdi negara tersebut. Suasana hati yang sedih dan gembira bercampur-aduk menjadi satu dalam benak Hamid.

Pagi yang cerah menyambut dan memberikan semangat baru bagi Hamid untuk berjuang dan mengabdi dalam antusiasme yang mulia di masa depan nanti. Ibunya yang selalu rela dengan sabar merawat dan memberikan kasih sayangnya pada Hamid terlihat berbeda saat itu ketika Hamid ingin berpamitan dan memohon doa restu supaya Hamid dapat menjalankan
pendidikannya dengan gemilang. Seakan-akan tak rela melepaskan kepergian sementara untuk mencapai cita-cita yang didambakan oleh Hamid sejak kecil. Hamid pun tertunduk dan tenggelam dalam derasnya air kesedihan untuk meninggalkan ibunya walapun untuk sementara waktu hingga nanti sampai pendidikannya berakhir.

“Bu, maafkan Hamid yang selalu merepotkan selama ini, aku akan pergi untuk mencapai cita-citaku, Ibu. Doakan Hamid agar selalu ingat pada Allah dan mudah-mudahan berhasil dalam pendidikan ini !” kata Hamid dengan penuh isak tangis. Namun dengan hati mantap dan restu ibunya, ia pun melangkah menuju kendaraan pemberangkatan yang sudah menunggunya di depan rumah. Tak lupa pula adiknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas memberikannya kenang-kenangan sebuah jam weker unik untuk pengingat waktu sholat.

“Kak, ini kenang-kenangan dariku untuk Kakak supaya Kakak akan selalu ingat pada Allah dan di dalam jam weker ini ada MP3 nya juga, jadi mudah-mudahan ini dapat menghilangkan rasa bosan dan penat Kakak setelah menjalankan aktifitas penuh di sana. Aku sengaja pilihkan lagu-lagu kesukaan Kakak loh !” Dengan senyum dan mata berkaca-kaca adiknya seraya menyodorkan kenang-kenangan itu pada Hamid.

“ Terima kasih,Dik ! “ kata Hamid.
“ Jaga diri dan selamat berjuang Kak Hamid,” sahut adiknya.
Ibu yang sedari tadi hanya terdiam seribu bahasa karena tak tahan membendung derasnya air luhnya, terakhir ia hanya sempat mengucapkan kalimat pendek pada anaknya yang sangat disayanginya itu.

“Hati-hati dan selalu ingat Allah ya Nak, “ kata ibunya.
Hari pertama saat berada di asrama, sepertinya masih asing dan membuat Hamid merasa tidak nyaman.

“Ah, ini hanya sementara saja, nanti akan terbiasa juga kok ! “ pikir Hamid dalam hati.
Maklumlah ini pengalaman pertama ia tinggal jauh dari keluarga dan orang tua. Begitu berat dan melelahkan hari-hari yang dilalui oleh Hamid selama disana. Berbagai peraturan dan aktifitas yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh siswa-siswi tersebut. Jalan tempuh pendidikan yang dilaluinya memang sulit baginya. Semua peraturan-peraturan yang telah diterapkan sengaja dibuat bukanlah untuk menjadikan siswa-siswi pendidikan menjadi robot-robot yang sengaja dicetak oleh negara, namun itu adalah untuk melatih mereka akan kedisiplinan dan tanggung jawab supaya tertanam pada jiwa anak-anak didik yang nantinya akan berguna di masa depan kelak.

“Wuih… lelah banget hari ini !” kata Hamid penuh kelelahan sambil menghempaskan tubuhnya dengan keras di atas tempat tidur asrama. Teman sebelahnya bernama Iwan. Dia datang dari jauh tepatnya di pulau Kalimantan. Kedua orang tuanya masih tinggal bersama dengan kedua adik-adiknya yang masih kecil di sana. Iwan anaknya sangat baik, sifat ini sudah terlihat jelas oleh pikiran Hamid sejak perkenalan pertama kali sewaktu ospek kemarin.

“Sudahlah yang sabar Mid, kita ini kan masih baru awal-awal perjalanan di sini,“ kata Iwan seraya menasehati dan mendinginkan pikiran Hamid yang sudah panas.
“Capek banget nih, apalagi tadi aku sebel juga sama kakak pembina yang sangat arogan itu ! ” sahut Hamid dengan wajah sedikit berkerut.
“Aku juga sebal dibuatnya, ya sudahlah yang penting kita istirahat dulu biar besok segar lagi, OK ! “ kata Iwan.
Waktu itu akhirnya suasana menjadi tenang dan mereka pun terlena oleh alunan musik MP3 yang baru dimainkan oleh Hamid Dan kemudian mereka terlelap tidur dengan buaian mimpi-mimpi mereka.

Sudah seminggu setelah menjalani serentetan kegiatan ospek, mereka pun akhirnya berpisah. Entah apa alasannya, Hamid tidak tahu-menahu tentang hal itu. Isyunya ada sedikit kekeliruan administrasi oleh pihak pendidik atas penempatan asrama siswa-siswi tersebut. Namun persahabatan mereka tidaklah pudar walaupun sudah tidak sekamar lagi. Pada kesempatan waktu luang mereka sering mengadakan diskusi maupun hanya sekedar saling curhat seputar permasalahan mereka masing-masing. Sesekali mereka melontarkan kata-kata jenaka dan canda-canda kecil yang membuat suasana sekitar menjadi hidup dan segar. Hamid anaknya humoris, teguh pendirian dan Iwan sedikit konyol dan supel. Kalau mereka bertemu, dijamin semua teman-teman di sekitar merasa senang dan terhibur.

“Dunia terasa sepi , kalau disini tidak ada Hamid dan Iwan ya Teman-teman !“ salah satu teman mereka bergumam.

Seminggu sekali Hamid dan Iwan selalu meluangkan waktu bersama teman-temannya sekedar untuk main-main maupun berdiskusi dengan segala topik di asrama itu. Entah apa saja yang dapat mereka lakukan, sepanjang kegiatan itu positif, bermanfaat dan tidak melanggar peraturan serta mendapat persetujuan dari pihak pendidik, maka sah-sah saja dilakukan.

Dalam beberapa hari kemudian Hamid mengalami nasib yang malang. Dia dan beberapa siswa lainnya telah teraniaya oleh kakak-kakak senior dalam kegiatan ospek. Hanya karena ketika itu Hamid beserta beberapa temannya menundukkan kepala ketika ada salah satu kakak pembinanya memberikan pengarahan. Kakak senior yang dikenal dengan arogansinya itu menendang dan menghantam kepala dengan kerasnya ke arah kepala Hamid yang sedang tertunduk. Tidak ada luka kentara yang terlihat di tubuhnya, namun hantaman keras yang mengenai kepalanya membuat dia sering merasa pusing dan mual setelah kejadian itu. Dan bahkan sesekali dia pingsan di tengah-tengah kegiatannya.

Sungguh kejadian yang tidak berpendidikan. Apakah ini yang dinamakan mendidik? Kegiatan ospek yang seharusnya bertujuan untuk mendisiplinkan para siswa-siswinya, malah menjadi ajang premanisme. Apakah negara akan mencetak algojo-algojo negara atau abdi negara yang akan selalu melayani dan membela negara dengan berdasarkan asas-asas negara ? Ini tak ubahnya seperti oknum pendidik itu merampas dan mencoreng-moreng cita-cita dan tujuan pendidikan itu didirikan.

Mau dibawa kemana dunia pendidikan di negeri kita ini !
Malam setelah tragedi itu, membuat Hamid tidak bisa tidur. Badannya terasa panas dan pusing terus-menerus yang tak terkira rasa sakitnya. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit selama beberapa hari karena rasa pusingnya yang teramat sangat. Setelah menjalani pemeriksaan, akhirnya dokter menyatakan bahwa ada gangguan yang cukup besar pada pembuluh otak Hamid. Berita ini telah membuatnya terkejut dan tidak berani untuk memberitahukan berita itu kepada orang tua dan keluarganya di rumah. Dia tidak tega dan tidak mau merepotkan orang tuanya lagi, apalagi ibunya yang dulu pernah merawatnya di rumah sakit sewaktu kecil dengan penyakit yang sama yakni di sekitar otak.

Namun ini sepertinya sudah lebih parah daripada yang dulu. Teman yang berada sekamar dengan dia sering mengetahui dan mendengarkan keluhan-keluhan yang terucap oleh Hamid. Dia sering mengeluhkan daerah sekitar kepalanya.
Suatu ketika sewaktu Hamid mengikuti upacara bendera di lapangan, tiba-tiba dia pingsan dan hingga tak sadarkan diri selama satu hari penuh. Akhirnya pihak asrama mengirimkan berita itu kepada orang tua Hamid. Dan alangkah terkejutnya saat itu orang tuanya setelah mendengar berita buruk itu. Bergegaslah orang tua dan adiknya berangkat menuju rumah sakit yang ditunjuk oleh pihak asrama tersebut.

Dengan sisa-sisa nafas yang terakhir, Hamid berpesan pada adiknya untuk terus semangat dalam meraih cita-cita dan menjadi anak yang baik. Dan dia seraya memohon permintaan maaf kepada orang tuanya karena tidak bisa lagi melanjutkan pendidikannya sampai tamat. Sesaat ketika itu suasana menjadi hening dan kemudian isak tangis tersedu-sedu keluar dari mulut seorang ibu yang sangat mencintainya. Linangan air mata seakan-akan mengalir seperti derasnya air bah Tsunami membasahi pipinya. Pupus sudah harapan orang tua Hamid saat itu. Anak yang sangat dibanggakan dan disayanginya meninggalkan mereka dan tak akan kembali di jagat raya ini. Tak ada lagi senyuman, canda tawa dan keberhasilan yang gemilang yang dapat diraih. Entah apa yang mengakibatkan hal itu terjadi pada diri Hamid.

Namun tak lama kemudian orang tua Hamid merasakan suatu keganjalan terjadi yang mengakibatkan nyawa Hamid melayang. Dengan daya upaya orang tua Hamid memperkarakan hal itu ke meja hijau untuk menuntut keadilan dan memberikan pelajaran kepada mereka-mereka yang telah menganiaya anaknya. Dan akhirnya mereka-mereka yang berbuat anarkis itu dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku oleh badan hukum setempat.
Bisakah hukuman tersebut dapat memberikan efek jera pada mereka-mereka? Kita hanya berharap semoga dari kejadian yang menimpa diri Hamid tadi tidak akan terulang kembali di negeri ini.

-------------------------
Cerpen pendidikan ini oleh N Rinawati. Sudah pernah diterbitkan di KolomKita.

Comments

  1. berkesan ceritannya dan bikin orang penegn baca terus!!!

    ReplyDelete
  2. penuh kesabaran dalam menulis cerpen ini.

    ReplyDelete

Post a Comment